Search

Selasa, 26 Juli 2016

SIKAP REMAJA MENGHADAPI RADIKALISME

MAKALAH BIMBINGAN KONSELING
“SIKAP REMAJA MENGHADAPI RADIKALISME”

DISUSUN OLEH :
DIAN ALFIAN (14)
FATWA SABILLA SOFYANY (15)
PAMUNGKAS PUJIANTO (27)
KELAS 2TPHP2

DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SMK NEGERI 1 (STM PEMBANGUNAN) TEMANGGUNG
JL. KADAR MARON KOTAK POS 104 TEMANGGUNG 56221

TAHUN PELAJARAN 2015/2016
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Dalam penyusunannya, kami memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua dan segenap keluarga besar, serta guru yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun kami berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Temanggung, 3 Februari 2016

Penyusun DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Masa perjuangan para pahlawan bangsa Indonesia sangat luar biasa pada jaman penjajahan Belanda ditambah masa pendudukan Jepang. Melalui perjuangan yang gigih rela mengorbankan jiwa dan raga tersebut, akhirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia resmi memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945. Proklamator kemerdekaan ini adalah Ir. Soekarno dan Moh. Hatta dengan PANCASILA sebagai ideologi dan dasar Negara. Dasar Negara PANCASILA sendiri sudah dirumuskan sebagai dasar negara pada jauh – jauh hari sebelum Indonesia merdeka, yaitu pada sidang BPUPKI 1 juni 1945.
Dengan proklamasi berarti NKRI sudah bebas dan terlepas dari belenggu penjajahan yang menyengsarakan masyarakat Indonesia. Setelah bangsa Indonesia memploklamirkan kemerdekaannya, ternyata tidak sertamerta ada jaminan keamanan dalam negeri. Hal ini tercermin setelah tahun 1945 timbul beberapa pergolakan intern di dalam negeri yang pada dasarnya keinginan kelompok atau golongan untuk “memaksakan” masing-masing gagasannya untuk mengganti PANCASILA sebagai dasar Negara, salah satunya adalah faham politik yang berbasis agama yaitu Darul Islam (DI). Organisasi ini membuat “rongrongan” terhadap PANCASILA.
Gerakan radikalisme adalah satu di antara buah globalisasi. Globalisasi dan religion movenment ini melahirkan sebuah kata yang sudah tidak asing lagi, yakni radikal atau radikalisme. Ada beberapa pendapat dan versi dalam mendefinisikan radikalisme ini, di antaranya radikal itu berasal dari kata latin “radix” yang artinya akar atau pohon. Jadi orang yang radikal sebenarnya adalah orang yang mengerti sebuah permasalahan sampai ke akar-akarnya, dan karena itu mereka lebih sering memegang teguh sebuah prinsip dibandingkan orang yang tidak mengerti akar masalah.
Dalam realitas social dan wacana public istilah radikalisme cendrung dipahami dengan negative dan ujungnya menimbulkan ketidaksukaan pada konsep radikal, ketika ia menjadi paham menyimpang dikerena alasan yang beragam. Dalam kontek global istilah radikalisme sudah melekat atau dilekatkan dengan ISIS. Dideklarasikannya ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) oleh sekelompok orang dan mengklaim secara sepihak sebagai kekhalifahan Islam secara global segera mendapatkan reaksi dari berbagai pihak, ada yang menolak dan ada pula yang mendukungnya, ada yang menganggapnya sebagai ancaman dan ada pula yang menganggapnya sebagai harapan.
Bangsa Indonesia adalah negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia, sehingga menjadi incaran dan sasaran gerakan politik yang mengatasnamakan Islam, termasuk kelompok ISIS. Kompleksitas radikalisme di Indonesia yang tidak mudah diselesaikan karena akan selalu dikaitkan dengan pergolakan dunia lain terutama Timur Tengah, sehingga pilihan untuk penguatan basis kebangsaan dan ke Indonesian dengan memberikan pemahaman dan penguatan nasionalisme merupakan solusi jangka panjang yang harus ditempuh oleh pemerintah, disamping solusi jangka pendek yaitu dari sisi penegakan hukum dan ketegasan sikap dari keamanan yang berwenang. Keberadaan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sangat mengkhawatirkan di kalangan dunia internasional, karena dianggap mengganggu perdamaian dunia, oleh karena itu gerakan anti ISIS banyak bermunculan di berbagai negara, tidak ketinggalan di Indonesia, gerakan penolakan ISIS pun marak bermunculan di berbagai kegiatan sebagai upaya menangkal penyebaran faham tersebut, baik di kalangan ormas mapun perguruan tinggi. Pemerintah Menolak Tegas Belakangan ini telah di hebohkan adanya ISIS yang berusaha mencari dukungan dan pengaruh di Indonesia. Namun, secara tegas pemerintah RI dan Badan Nasional Penanggulangan Tindakan Terorisme (BNPT) menyatakan menolak paham ISIS berkembang di Indonesia karena tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan Kebhinekaan yang menaungi NKRI, karena apa yang dilakukan ISIS masuk dalam kategori tindakan terorisme karena dilakukan dengan cara kekerasan dan menebar teror. Seperti penyeru jihad ala ISIS di Indonesia tersebut adalah kelompok teroris Santoso asal Poso yang saat ini menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO). Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Ormas Islam, tokoh politisi, Intelektual dan masyarakat menolak terhadap eksitensi ISIS di Indonesia. Berbagai pernyataan menolak ISIS di Indonesia pun bermunculan, tetapi apakah cukup dengan memberikan statemen? Menangkal/Upaya Pencegahan Saat ini yang lebih penting adalah bagaimana upaya nyata untuk menangkal gerakan radikal seperti ISIS itu dirumuskan secara komprehensif dengan melibatkan seluruh elemen bangsa baik pemerintah dan masyarakat. Karena selama ini, pelibatan seluruh elemen masyarakat selama ini belum pernah dilakukan, justru dalam membasmi dan menangkal gerakan radikal terkesan berjalan sendiri- sendiri. Pemerintah perlu duduk bareng merumuskan hal tersebut, setidaknya dengan melibatkan masyarakat dan tokoh akan ditemukan untuk membentengi masyarakat terutama anak-anak agar tidak terpengaruh visi kelompok ISIS. Tanpa hal tersebut akan sulit menemukan upaya yang komprehensif dalam menangkal radikalisme. Pencegahan paham radikalisme dan menangkal bahaya ideologi ISIS tersebut hendaknya tidak diberikan kepada para elit semata. Tetapi bagaimana lapisan bawah juga harus gencar dilakukan, sesuai dengan kondisi masyarakat itu sendiri. Dengan begitu, paham radikal yang menjadi kekhawatiran pemerintah bisa ditangkal. Kalau pun ada yang mencoba menyusupkan paham-paham tersebut, tentu akan ditolak karena sudah adanya pemahaman masyarakat. Pendidikan Bagi Guru Agama Pentingnya pendidikan Islam bagi para calon guru agama Islam, karena pendidikan Islam yang berada di punggung guru bagai pedang bermata dua, di satu sisi bisa menangkal radikalisme, di sisi yang lain justru bisa melahirkan radikalisme agama. Jangan sampai pendidikan agama yang salah bisa menjadikan seseorang menjadi radikal. Karena masih banyak sekolah, siswa bukannya diperkenalkan dengan ajaran yang penuh cinta, namun justru dikenalkan dengan ajaran yang keras, agresor, dan pembalas dendam. Di sinilah peran guru sebagai pendidik menduduki posisi kunci. Karena di tangan merekalah, anak didik bisa dibentuk cara pandang pada agama dengan kacamata cinta. Sementara itu, untuk mencegah lahirnya radikalisme, perlunya merombak total cara pandang terhadap agama Islam serta mengkritisi kurikulum pendidikan agama yang menurutnya lebih berorientasi pada hukum (nomos oriented religion) yang kaku dan eksklusif, bukannya pada cinta (eros oriented religion) yang moderat dan inklusif. Padahal Islam adalah ajaran yang sangat berorientasi pada ajaran cinta (eros). Pelajaran agama dan Pancasila harus dilakukan secara berkesinambungan dalam kurikulum pendidik. Hal tersebut perlu dilakukan agar revolusi dan mental terintegrasi agar tidak salah paham dalam praktiknya. Radikalisasi Pancasila Pemerintah harus melakukan radikalisasi Pancasila dan revolusi mental untuk menangkis masuk dan berkembangnya radikalisme di Indonesia. Salah satunya adalah gerakan ISIS, yang belakangan diketahui terindikasi dengan jaringan terorisme. Menurutnya, nilai-nilai Pancasila di era sekarang hanya sebatas hafalan dan tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selama ini, implementasi tidak sampai tujuan, harus melakukan radikalisasi Pancasila dan revolusi mental untuk menangkis radikalisme. Akibat nilai-nilai Pancasila yang tidak membumi, gerakan radikalisme juga subur seiring dengan meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Kemiskinan dan pengangguran menjadi pintu masuk gerakan ISIS ke Indonesia. Karena saat ini, ada indikasi aktivis ISIS juga terkait dengan jaringan terorisme di Indonesia. Kalau sampai paham ISIS dan terorisme saling berkaitan, maka ibarat api dan bensin, akan menyebar ke mana-mana. Tidak hanya itu, gerakan ISIS juga berniat meruntuhkan NKRI. Untuk itulah, dibutuhkan peran Pancasila dan revolusi mental, tokoh agama, guru/pendidik, elit politik, pemerintah daerah dan masyarakat untuk mencegah berkembangnya gerakan ISIS di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat harus sepakat jika pemberitaan dan informasi anti-ISIS harus terus digelorakan untuk mematahkan upaya ISIS mengajak pemuda Indonesia menjadi bagian darinya. Semoga cara tersebut dinilai efektif untuk menutup celah-celah masuknya radikalisme yaitu dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dan menjawab problematika sosial. Implementasi dari nilai-nilai Pancasila akan sangat efektif dalam menangkis gerakan ISIS dan nilai-nilai tersebut dapat dimasukkan ke kurikulum sekolah. Semoga cara-cara tersebut akan efektif sebagai metode jangka panjang untuk menangkal radikalisme. Sementara untuk jangka pendek, dapat menggunakan pendekatan hukum.
TUJUAN
Mengetahui apa itu radikalisme
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi radikalisme
Mengetahui perkembangan radikalisme di kalangan anak & remaja Indonesia
Mengetahui cara pencegahan radikalisme baik di masyarakat maupun pencegahan di kalangan anak & remaja

MANFAAT
Dapat lebih paham maraknya perkembangan radikalisme dalam masyarakat Indonesia yang sudah merajalela dan mulai perkembangannya dalam kehidupan anak & remaja Indonesia
Dapat memahami bagaimana cara pencegahan agar terhindar dari radikalisme yang merusak generasi muda Indonesia melalui tindakan-tindakan serta gerakan yang menyimpang dari agama dan adat di masyarakat
PERMASALAHAN
Bagaimana proses masuknya radikalisme di Indonesia?
Bagaimana cara mengatasi radikalisme yang mulai menyebar dan merusak generasi muda Indonesia?
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
Namun bila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham / aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham / aliran untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.

Sejarah Radikalisme
            Munculnya isu-isu politis mengenai radikalisme Islam merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk menjawabnya. Isu radikalismeIslam ini sebenarnya sudah lama mencuat di permukaan wacana internasional. Radikalisme Islam sebagai fenomena historis-sosiologis merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia. Banyak label label yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam radikal, dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan, fundamentalisme sampai terrorisme. Bahkan di negara-negara Barat pasca hancurnya ideology komunisme (pasca perang dingin) memandang Islam sebagai sebuah gerakan dari peradaban yang menakutkan. Tidak ada gejolak politik yang lebih ditakuti melebihi bangkitnya gerakan Islam yang diberinya label sebagai radikalisme Islam. Tuduhan-tudujan dan propaganda Barat atas Islam sebagai agama yang menopang gerakan radikalisme telah menjadi retorika internasional.
            Label radikalisme bagi gerakan Islam yang menentang Barat dan sekutu-sekutunya dengan sengaja dijadikan komoditi politik. Gerakan perlawanan rakyat Palestina, Revolusi Islam Iran, Partai FIS Al-Jazair, perilaku anti-AS yang dipertunjukkan Mu’ammar Ghadafi ataupun Saddam Hussein, gerakan Islam di Mindanao Selatan, gerakan masyarakat Muslim Sudan yang anti-AS, merebaknya solidaritas Muslim Indonesia terhadap saudara-saudara yang tertindas dan sebagainya, adalah fenomena yang dijadikan media Barat dalam mengkapanyekan label radikalisme Islam.Tetapi memang tidak bisa dibantah bahwa dalam perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan paham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering disebut kaum radikalisme Islam.
            Menurut Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Ahmad Bagja, radikalisme muncul karena ketidakadilan yang terjadi di dalam masyarakat. Kondisi tersebut bisa saja disebabkan oleh negara maupun kelompok lain yang berbeda paham, juga keyakinan. Pihak yang merasa diperlakukan secara tidak adil, lalu melakukan perlawanan.
            Radikalisme tak jarang menjadi pilihan bagi sebagian kalangan umat Islam untuk merespon sebuah keadaan. Bagi mereka, radikalisme merupakan sebuah pilihan untuk menyelesaikan masalah. Namun sebagian kalangan lainnya, menentang radikalisme dalam bentuk apapun.
            Sebab mereka meyakini radikalisme justru tak menyelesaikan apapun. Bahkan akan melahirkan masalah lain yang memiliki dampak berkepanjangan. Lebih jauh lagi, radikalisme justru akan menjadikan citra Islam sebagai agama yang tidak toleran dan sarat kekerasan.
            Cendekiawan Muslim, Nazaruddin Umar, mengatakan radikalisme sebenarnya tak ada dalam sejarah Islam. Sebab selama ini Islam tak menggunakan radikalisme untuk berinteraksi dengan dunia lain. ‘’Dalam sejarahnya, Nabi selalu mengajarkan umatnya untuk bersikap lemah lembut,’’ tegasnya.
            Ini berarti, jelas Nazaruddin, bahwa penyebaran ajaran Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad dilakukan dengan cara yang santun dan lemah lembut. Nabi mengajarkan untuk memberikan penghormatan kepada orang lain meski mereka adalah orang yang memiliki keyakinan yang berbeda. Nazaruddin menambahkan bahwa ajaran Islam yang masuk ke Indonesia juga dibawa dengan cara yang sangat damai. Pun penyebaran Islam yang terjadi di Negara lainnya. Ini sangat berbeda dengan negara-negara lain, terutama imperialis.
Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gerakan Radikalisme
Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme. Diantara faktor-faktor itu adalah :
            Pertama, faktor-faktor sosial-politik. Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah kaparah oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam itu lebih tepat dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa memburuknya posisi negara-negara Muslim dalam konflik utara-selatan menjadi penopong utama munculnya radikalisme. Secara historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi.
            Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan mengggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena historis. Karena dilihatnya terjadi banyak Islam dan Wacana … [Syamsul Bakri] penyimpangan dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas Muslim maka terjadilah gerakan radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.
            Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan  sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut) walalupun gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad dan mati stahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.
            Ketiga, faktor kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggab sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bummi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban barat sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan universal umat manusia.
Barat telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan Muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Barat, dengan sekularismenya, sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa Timur dan Islam, juga dianggap bahaya terbesar dari keberlangsungan moralitas Islam.
            Keempat, faktor ideologis anti westernisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengapplikasikan syari’at Islam. Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syarri’at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.
Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintahn di negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat. Di samping itu, faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim.
Radikalisme dalam perspektif fiqih
            Diantara keistimewaan fiqih Islam (yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf) memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
            Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
            Kekerasan dalam bentuk perang bukan dimulai oleh umat Islam sendiri. Begitu pula dalam sejarah perjungan nabi Muhammad SAW, perang badar, uhud, dan lainnya bukanlah umat Islam yang mengundang kaum kafir, akan tetapi sebaliknya. Umat Islam justru diperintahkan untuk tetap berbuat baik kepada siapa pun, termasuk kepada non-muslim yang dapat hidup rukun. Mengenai hal ini, Allah juga berfirman dalam surah Al Mumtahanah ayat 8 dan 9 ”Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dalam agama dan tidak mengusir kamu dari kampung-kampungmu sebab Allah senang kepada orang-orang yang adil. Allah hanya melarang kamu bersahabat dengan orang-orang yang memerangi kamu dalam agama dan mengusir kamu dari kampung-kampungmu dan saling bantu-membantu untuk mengusir kamu ,barangsiapa bersahabat dengan mereka maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.
Radikalisme Wahabi
Radikalisme wahabi yang paling berbahaya adalah upaya mereka menafsirkan ayat-ayat Alqur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW sesuai hasrat ideologi dan afiliasi politik mereka sendiri. Konyolnya lagi, karakter gerakan mereka sangat narsis, kaku, dan arogan sehingga sulit sekali untuk diajak kompromi. Dalam perkembangannya sekarang, Wahabi bergerak dengan tujuan meruntuhkan aliran-aliran paham lain dan jika perlu juga meruntuhkan pemerintahan yang mereka sebut sebagai thoghut termasuk pemerintahan Republik Indonesia. Di sinilah letak bahaya pengaruh Wahabi.
Enam Jurus Hadapi Wahabi
Dalam kondisi objektif seperti ini, menurut Prof Baharun, sulit sekali bila kita mau berupaya untuk merajut ukhuwwah dengan mereka. Karena dalam kenyataannya pengaruh ‘radikal’ mereka kini sudah sangat sistemik di tengah masyarakat, hingga timbul kekawatiran. Radikalisme Wahabi yang jelas sekarang ini telah merusak soliditas persaudaraan di tengah umat dan lebih jauh menampilkan potensi ancaman terhadap kelangsungan NKRI. Oleh karena itu, untuk menghentikan gerakan radikalisme Wahabi diperlukan enam jurus:
Pertama, harus ada respons terhadap buku-buku dan ceramah yang mereka terbitkan untuk meluruskan segala upaya tahrif dan takfir. Jaringan para penerbit Aswaja harus lebih solid dalam melakukan radd (bantahan) terhadap manuver mereka ini, karena mereka memiliki akses luas dan sumber-sumber finansial yang besar untuk mengancam eksistensi Aswaja.
Kedua, membangun jaringan (networking) yang lebih luas untuk mengembangkan pengaruh Aswaja dalam rangka revivalisme Aswaja di tengah generasi muda yang kini sebagian mulai merasa goyah terkena virus aliran sesat dan menyesatkan itu.
Ketiga, mewaspadai adanya konspirasi anti Pancasila dan NKRI yang berbungkus agama, sehingga mempengaruhi sebagian umat, terutama remaja dan mahasiswa yang dapat ditunggangi untuk kepentingan politik praktis mereka. Kepentingan asing juga ikut berpengaruh dalam aktivisme ini.
Keempat, semua ponpes se-Indonesia- melalui RMI – menerapkan kurikulum Aswaja, yang harus diajarkan sejak dini kepada para santri. Pemahaman Aswaja tidak dibatasi pada kajian furu’ (perkara-perkara insidental) dalam syari’ah, namun juga hendaknya dimulai dari telaah ushul (pokok-pokok yang prinsipal) dalam ‘aqidah.
Kelima, NU harus mengusulkan agar manhaj Aswaja yang sudah berakar diamalkan oleh umat NU, Muhammadiyah, Tarbiyah Islamiyah, Mathla’ul Anwar, Persis, Rabithah ‘Alawiyah, dan Al-lrsyad. Alangkah baiknya bila manhaj ini dikukuhkan pemerintah sebagai manhaj (faham) resmi negara.
Keenam, ukhuwwah yang sejati dan sungguh-sungguh harus dimulai secara internal antar kalangan nahdliyyin dan intra antara ormas Islam yang ada dalam koridar Aswaja.
Jihad Bukanlah Radikalisme
Ideology jihad dengan penerapan keras, dan radikal yang dilakukan ISIS patut ditelisik kesumbernya, al- Qur’an. Jihad adalah salah satu tema pokok dalam al-Qur’an. Pembahasan jihad dalam al-Qur’an cukup mewarnai sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Makkah dan Madinah. Hal ini menunjukkan urgensi jihad dalam sejarah pembentukan dan perkembangan syariat Islam. Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan manusia agar memperjuang kannya  hingga mengalahkan kebatilan. Tetapi hal itu tidak dapat terlaksana dengan sendirinya, kecuali melalui perjuangan (jihad) menghadapi musuh. Shalat, Ibadah, dan amal kebajikan bukanlah sesuatu yang mudah dipenuhi, karena dalam diri manusia ada nafsu yang selalu mengajak kepada kejahatan, disekelilingnya ada setan yang menghambat, karena itu manusia perlu berjihad mencurahkan segala tenaga dan kemampuan agar amal-amal kebajikan itu dapat terlaksana dengan baik.
Istilah al-Qur’an untuk menunjukkan perjuangan adalah kata jihad. Sayangnya istilah ini sering disalahpahami atau dipersempit artinya. Jihad dipahami sebagai salah satu ajaran Islam yang merupakan simbol kekerasan, kekejaman, dan terorisme. Persepsi terhadap Islam ditopang oleh realitas empiris prilaku-prilaku diantara umat yang menyebut atau memakai simbol Islam yang kerap kali melakukan aksi terorisme dan menanamkan bibit kerusakan dan perpecahan di tengah-tengah perdamaian dan ketentraman dunia.
Kata jihad terulang dalam Al-Quran sebanyak empat puluh satu kali dengan berbagai bentuknya. Menurut Ibnu Faris (w. 395 H) dalam bukunya Mu'jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, "Semua kata yang terdiri dari huruf j-h-d, pada awalnya mengandung arti kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya." Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti "letih/sukar." Jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari akar kata "juhd" yang berarti "kemampuan". Ini karena jihad menuntut kemampuan, dan harus dilakukan sebesar kemampuan.
Al qur’an mengunakan kata jihad, dengan arti kesungguhan optimal dan maksimal(QS. 3:142. QS.2:214.) Jihad juga mengandung arti "kemampuan" yang menuntut sang mujahid mengeluarkan segala daya dan kemampuannya demi mencapai tujuan. Karena itu jihad adalah pengorbanan, dan dengan demikian sang mujahid tidak menuntut atau mengambil tetapi memberi semua yang dimilikinya. Ketika memberi, dia tidak berhenti sebelum tujuannya tercapai atau yang dimilikinya habis. Mengunakan kemampuan secara maksimal dalam lapangan hukum dinamakan ijitihad, orangnya bernama mujtahid.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jihad adalah memaksimalkan semua potensi dengan cara baik untuk tercapainya tujuan kebaikan bagi semua. Jihad sama sekali berbeda dengan radikalisme, yang lazim anarkis, terror dan perilaku tercela lainnya.
BAB III PEMBAHASAN
Radikalisme Anak Muda Islam
Ibarat di musim hujan benih-benih radikalisme tumbuh subur di kalangan anak muda. Ini merupakan hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) tentang radikalisme di kalangan pelajar se-Jabodetabek. Parahnya, hampir 50 persen pelajar menyetujui tindakan radikal atas nama agama. Beberapa pengamat terorisme dan intelijen melihat reaksi kaum muda tersebut sebagai benih-benih pemikiran yang bisa mengarah pada tindakan terorisme. Dalam catatan intelijen Wawan Purwanto menjelaskan, Pada tahun 2007, dua orang remaja yaitu Isa Anshori (16) dan Nur Fauzan (19) ditangkap Densus 88 karena diduga ikut terlibat dalam menyembunyikan Taufik Kondang, salah seorang anggota jaringan teroris komplotan Abu Dujana. Tahun 2009 (17 Juli 2009) pelaku bom di JW Marriot adalah Dani Dwi Permana (18) dan Ritz Charlton Nana Ikhwan Maulana (28) Tahun 2011 (25 Januari 2011), Arga Wiratama (17), Joko Lelono, Nugroho Budi, Tri Budi Santoso, Yuda Anggoro. Roki Apris Dianto dibekuk oleh Densus 88 bersama ketujuh orang lainnya dalam kasus teror bom di wilayah Klaten, Sleman, dan Yogyakarta. (detikNews, 28/4) Tinjau PAI Munculnya pelaku teroris, bom bunuh diri dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan pemuda yang berusia di bawah 30 tahun menunjukan menunjukkan adanya kegagalan Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam menumbuhkan sikap kebhinekaan siswa sehingga tingkat persetujuan atas aksi radikal tinggi, mencapai 48,9 persen. (Hasil survei LaKIP), seperti ditulis M. Bambang pranowo, Direktur LaKIP, Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat Wilayah Jabodetabek yang menjadi sampelnya. Ihwal radikalisme dan toleransi muslim terhadap nonmuslim (Oktober 2010-Januari 2011) dengan responden 590 guru dari 1.639 guru pendidikan agama Islam dan 993 siswa (sekolah menengah pertama kelas VIII dan IX serta sekolah menengah atas semua kelas) dari 611.678 siswa menunjukkan hasil yang membenarkan besarnya kecenderungan radikal dan intoleran. Dalam kasus radikalisme, misalnya, untuk tingkat pengenalan dan kesetujuan terhadap organisasi radikal, rata-rata persentase guru dan siswa masing-masing 66,4 persen dan 26,7 persen (pengenalan) serta 23,6 persen dan 12,1 persen (kesetujuan). Untuk tingkat pengenalan dan kesetujuan terhadap tokoh-tokoh radikal, rata-rata persentase guru dan siswa: 69,2 persen dan 26,6 persen (pengenalan) serta 23,8 persen dan 13,4 persen (kesetujuan). Dari temuan Lakip itu, jelas sekali guru dan siswa di Jabodetabek mengenal organisasi dan tokoh radikal serta sebagian dari mereka menyetujui tindakan organisasi dan tokoh tersebut. Radikalisme erat kaitannya dengan sikap intoleransi. Betapa tidak, laporan survei Lakip menunjukan; 62,7 persen guru dan 40,7 persen siswa menolak berdirinya tempat ibadah non-Islam di lingkungan mereka. Guru (57,1 persen) dan siswa (36,9 persen) juga menolak bertoleransi dalam perayaan keagamaan di lingkungan mereka. Lebih jauh lagi, dari hasil survei itu juga ditemukan fakta yang menarik: 21,1 persen guru dan 25,8 persen siswa menganggap Pancasila tidak lagi relevan sebagai ideologi negara. Guru dan siswa pun menganggap persoalan bangsa akan teratasi bila syariat Islam diterapkan di Indonesia (65 persen).
Berikut adalah beberapa contoh gerakan radikalisme .
NII di Indonesia
Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah “Rumah Islam” adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa “Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam”, lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa “Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits“.
Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat , Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Aceh. Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia. Sampai dengan era modern ini sekalipun, organisasi ini tetap eksis dengan sebutan NII. Dan ironisnya target mereka sekarang adalah generasi muda.
Cara Penanggulangan Terhadap Ajaran Radikal NII
Untuk mencegah dan menghindarkan generasi muda dari radikalisme NII tentunya dibutuhkan langkah – langkah nyata yang efektif. Salah satu medianya adalah dengan pembuatan film edukasi tentang bahaya NII terhadap keutuhan NKRI sebagai contoh karya yang diciptakan oleh garin Nugroho dan tentunya sangat menarik untuk dilihat, dipelajari ,dan menjadi koreksi tersendiri bagi pemerintah indonesia. Banyak hal yang harus dikenalkan kepada kaum tunas muda sebagai generasi cikal bakal Indonesia kedepan untuk tidak ikut berkiprah diberbagai organisasi yang dapat merusak persatuan & kesatuan NKRI.
Beberapa cara yang dapat dilakukan, diantaranya :
1)      Memperkenalkan pengetahuan agama sejak dini sesuai dengan ajaran Islam yang benar, tanpa kekerasan. Jauhkan dari ajaran-ajaran yang bersifat pembajakan aqidah, akhlak yang menyimpang dari ajaran agama berdasar Al_Qur’an dan Al_Hadist.
2)      Memahamkan wacana tentang ilmu pemerintahan dan jiwa nasionalisme terhadap NKRI, dengan cara memasukkan dalam kurikulum dilingkungan pendidikan dengan porsi yang baik dan cukup jika bandingkan dengan pelajaran-pelajaran umum lainnya.
3)      Meminimalisir kesenjangan sosial. Pemerintah harus menciptakan media – media untuk mengatasi masalah ini, dan sebagai warga Negara yang baik kita wajib mendukung program dari pemerintah tersebut. Media tersebut dapat berupa menciptakan lapangan kerja dan semakin menggalakkan semangat toleransi antar umat beragama mengingat Indonesia adalah Negara yang majemuk, baik dari kebudayaan dan suku bangsanya.
4)      Memahami dan menjalankan nilai – nilai Pancasila di dalam kehidupan sehari – hari, karena didalam sila-silanya berakar pada budaya bangsa Indonesia.
a)      Ketuhanan yang Maha Esa
b)      Kemanusiaan yang adil dan beradab
c)      Persatuan Indonesia
d)      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyarwaratan perwakilan
e)      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Nilai-nilai tersebut sangat kongruen dan sesuai dengan struktur budaya bangsa yang majemuk.
Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Dalam kontek global istilah radikalisme sudah melekat atau dilekatkan dengan ISIS. Dideklarasikannya ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) oleh sekelompok orang dan mengklaim secara sepihak sebagai kekhalifahan Islam secara global segera mendapatkan reaksi dari berbagai pihak, ada yang menolak dan ada pula yang mendukungnya, ada yang menganggapnya sebagai ancaman dan ada pula yang menganggapnya sebagai harapan.
Pihak yang menolak dan menganggapnya sebagai ancaman berasal dari sebagian besar umat Islam, termasuk para ulama dan pemimpin dunia Islam. Sedangkan pihak yang mendukung dan menganggapnya sebagai harapan berasal dari segelintir orang yang sejak awal telah mempunyai cita-cita untuk mendirikan kekhalifahan Islam secara global, diantaranya ada yang menggunakan pendekatan kekerasan.
Pihak yang menolak kemunculan ISIS beserta klaimnya sebagai kekhalifahan Islam global berasal dari hampir semua komponen umat Islam. Bahkan kelompok dalam umat Islam yang selama ini dikenal sebagai pihak yang gigih mewacanakan pentingnya khilafah Islamiyah juga masuk dalam barisan pihak yang menolak pendeklarasian ISIS tersebut. Alasan yang paling menonjol dan disepakati oleh hampir semua kelompok Islam adalah terkait dengan cara yang dipergunakan oleh kelompok ISIS yang jauh dari ajaran Islam. Cara yang dipakai lebih tepat disebut sebagai teror yang mengedepankan kekerasan, kebiadaban dan ketidak-toleranan.
Apabila diidentifikasi, sekelompok orang yang mendukung dideklarasikannya ISIS ini mempunyai karakter yang hampir sama, yakni kecenderungan mempunyai pemahaman yang kurang pas terhadap ajaran agama, sehingga menimbulkan distorsi pemahaman dan sikap radikal dalam beragama, dimana hal itu bisa berpotensi memunculkan tindakan kekerasan dan tidak toleran. Oleh karena itu, upaya pencegahan agar kelompok ini tidak bisa berkembang bukan hanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan keamanan (security aproach) saja tapi juga melalui pelurusan pemahaman keagamaan.
Kesalahan pemahaman keagamaan kasat mata pada pola gerakan dan prilaku gerakan ISIS. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa ISIS adalah gerakan separatis pemberontakan bersenjata yang mengunakan agama dengan tafsir keras dengan sasaran kelompok muslim Syiah dan pemeluk agama Kristen. ISIS dipastikan telah meresahkan dan mencemaskan umat Islam yang memiliki kesadaran beragama yang lurus dan benar. Hampir dapat dipastikan pola gerakan ISIS adalah bahagian dari gerakkan terorisme yang menjadikan agama sebagai justifikasi perjuangan, dengan mengedepankan konsep jihad dan melakukan tindakan anarkis, penyerangan, perampasan, pembunuhan bahkan bom bunuh diri tak terkecuali bagi umat Islam yang berbeda pemahaman keagamaannya.
Pola pikir dan kecendrungan gerakan yang diperlihatkan oleh ISIS mirip dan memiliki kesamaan dengan pola gerakan kaum khawarij pada masa kekhalifah Ali Ibn Abi Thalib. Khawarij adalah suatu sekte atau kelompok atau Aliran pengikut Ali bin Abi Thalib  yang keluar meninggalkan barisannya karena ketidak sepakat terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam perang Shiffin pada tahun 37 H/ 648M dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan Khalifah.
BAB IV PENUTUP
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
http://pakdhekeong.blogspot.com/2013/04/makalah-radikalisme-islam.html
http://m.kompasiana.com/simanungkalitrai/menangkal-radikalisme-penguatan-radikalisasi-pancasila-harus-dilakukan_556279f0b27a61e6078b4572

Tidak ada komentar:

Posting Komentar