Assalamu’alikum
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا
وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ أَمَّا بَعْدُ
Hadirin semua yang
dirahmati Allah
Segala puji bagi Allah,
yang telah memberikan segala nikmatnya terus menerus, siang dan malam tanpa
perhitungan, yang maha terjaga, yang tidak pernah mengantuk dan tidak tidur,
yang maha hidup abadi dan maha memelihara semua makhluk-Nya. Pemberian-Nya
tidak terhitung dan terkira, tak ada ungkapan syukur yang terucap dari Lisan
sang hamba yang lemah ini melainkan ucapan Al-Hamdulillahi robbil ‘alamin..
Sholawat dan salam
senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita, Pujaan hati kita, kekasih hati ribuan
juta muslim di dunia, Muhammad bin Abdillah yang berbudi luhur dan mulia
nasabnya dengan semulia-mulia ucapan dan do’a baginya................ Allahumma
sholli wasallim wabarik alaih wa’ala ‘alaih.
Al
Quran diturunkan kepada Muhammad Rasulullah SAW selama 23 tahun masa kerasulan
beliau. Al Quran di turunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW
dengan perantaraan malaikat Jibril. Malaikat Jibril menurunkan Al Quran ke
dalam hati Rasulullah dan beliaupun langsung memahaminya. Hal ini disebutkan
dalam Al Quran surat Al Baqarah (2) : 97.
Katakanlah:
“Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya
(Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab)
yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang
beriman.”
Kemudian
Rasulullah SAW mengajarkan Al Quran itu kepada para sahabatnya. Mereka
menuliskannya di pelepah daun daun kering, batu, tulang dll. Pada saat itu
belum ada kertas seperti zaman modern sekarang ini. Kemudian para shahabat
langsung menghafalnya dan mengamalkannya. Demkian Al Qur;an di ajarkan kepada
para shahabat-shahabat yang lain. Al Quran difahami dengan menghafal. Bukan
dengan sekedar membaca.
Pada
saat Rasulullah telah wafat, banyak terjadi peperangan. Dalam peperangan
Yamamah misalnya , banyak para sahabat pemghafal Qur’an yang syahid. Melihat kondisi ini Umarpun meminta
Abu bakar sebagai khalifah untuk membuat Mushaf Al Quran. Abu bakar sempat
menolak. „ Apakah engkau meminta aku untuk melakukan apa yang Rasulullah tidak
lakukan ?“ ujar beliau. Tapi dengan gigih Umar bin Khattab menjelaskan
urgensinya pembuatan Mushaf bagi kepentingan kaum muslimin di masa yang datang.
Akhirnya Abu Bakarpun dapat diyakinkan dan kemudian setuju dengan ide Umar bin
Khattab.
Abu
Bakarpun lalu meminta Zaid bin Haritsah untuk melakukan tugas ini. Zaid bin
Haritsah pun sempat berkata : „ Apakah engkau meminta aku untuk melakukan apa
yang Rasulullah tidak lakukan ?“. Tapi akhirnya Zaidpun setuju dan mulai
mengumpulkan shahifah-sahhifah yang tersebar di tangan para shahabat yang lain.
Batu, daun-daun kering, tulang dll itupun disimpan di rumah Hafsah.
Barulah
pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, Mushaf Al Quran selesai sebanyak 5 buah.
Satu disimpan Utsman dan 4 yang lain disebar ke : Makkah, Syria, Basrah dan
Kufah. Jadi pada saat itu para shahabat, tabi’it dan thabi’i tabiin mempelajari
al Quran dengan menghafal karena jumlah Mushaf yang sangat sedikit.
Bagaimana
dengan kondisi zaman sekarang? Bila kita perhatikan di sekitar kita, diantara
teman-teman dan keluarga kita, ada berapa persen diantara mereka yang hafal Al
Quran ? Berapa persen yang sedang menghafal Al Quran? Mungkin kita susah
memberikan persentase karena dihitung dengan jari-jari tangan kita belum tentu
genap semuanya.
Kaum
muslimin saat ini masih cukup berpuas diri dengan membaca Mushaf Al Quran dan
tidak memahami maknanya. Padahal membaca Al Quran baru langkah awal interaksi
Al Quran. Al Quran sebagai petunjuk bagi kita tidak cukup dibaca tapi juga
dihafal dan difahami.
Mungkin
ada sebagian yang berkata mengapa perlu menghafal ? Tidakkah cukup dengan
membaca Mushaf dan membaca tarjemahan ? Ternyata tidak cukup. Dengan menghafal
Al Quran ada „rasa“ (atau zauk) yang diberikan Allah kepada hati kita. Rasa ini
didapat karena ayat-ayat yang dibaca berulang-ulang. Pengulangan kalam-kalam
suci itulah yang menjadi „makanan“ untuk hati. Dan sesuai dengan ayat di Al
Baqarah : 97 diatas, Al Quran itu diturunkan di hati Nabi Muhammad. Bukan di
akal fikiran beliau. Artinya Al Quran itu konsumsi/makanan hati bukan sekedar
fikiran.
Rasa
inilah yang menjadikan kita nikmat mengenal Allah, memahami kehendakNya dan
ringan melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala laranganNya. „ Rasa „
ini kurang ada juga sedikit ketika kita hanya membaca. Apalagi bila membacanya
tidak diiringi dengan pemahaman artinya. Dan membaca tidak diulang-ulang.
Efeknya sangat berbeda dengan mengulang-ulangnya.
Kaum
muslimin saat ini cukup berpuas diri dengan membaca „buta“ Al Quran dan menimba
ilmu dari para ustadz, kiai dan pemuka-pemuka agama. Tanpa menghilangkan rasa
hormat kepada para penyampai-penyampai risalah agama, kita sebagai hamba Allah,
secara individual juga mempunyai kewajiban berusaha memahami Al Quran dari
aslinya langsung dari firman-firmanNya.
Bila
kita menghafal dan mentadaburi Al Quran maka Allah akan mengajarkan kepada kita
pengetahuan melalui hati kita dengan perantaraan ilham. Seperti yang
difirmankan Allah SWT dalam surat Asy Syams ayat 8-10:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.“
Ilham ini dapat dirasakan dengan dalam hati kita. Bukankah kita pernah bingung tentang suatu masalah, kemudian pada suatu saat kita, „cling“ mememukan cara untuk menyelesaikan masalah dengan baik. Itulah ilham.
Ilham ini dapat dirasakan dengan dalam hati kita. Bukankah kita pernah bingung tentang suatu masalah, kemudian pada suatu saat kita, „cling“ mememukan cara untuk menyelesaikan masalah dengan baik. Itulah ilham.
Atau
ilham itu sebagai furqan atau pembeda mana-mana amal yang haq dan mana-man yang
bathil. Sebagai misal ketika kita masuk ke tempat maksiat maka hati kita akan
terasa tidak enak, tidak nyaman. Itulah peringatan dari hati kita yang bersih.
Furqan inilah yang dibutuhkan di dalam kehidupan ketika berperang dengan
bisikan-bisikan syaithan yang membujuk-bujuk kita untuk berbuat maksiat dengan
iming-iming duniawi yang menggiurkan. Karena itu sangatlah kita memerlukan
furqan yang menjadikan kita mantap mengetahui yang haq dan yang bathil. Seperti
disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam surat Al Anfaal ayat 29:
Hai
orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan
kepadamu Furqaan. dan Kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan
mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Al
Quran juga sebuah petunjuk/pedoman hidup bagi kita kaum muslimin :
Kitab
(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
(QS Al Baqarah : 2)
(QS Al Baqarah : 2)
Jadi
intinya Al Qu’an adalah pedoman hidup. Tapi hanya segelintir orang yang hafal
dan faham Al Quran. Bagaimana Al Quran bisa menjadi pedoman hidup seorang muslim
secara individual bila membaca dan memahaminya secara tuntas saja belum
dilakukan ? Dan banyak diantara kaum muslimin yang meninggal dalam keadaan
belum pernah membaca dengan tuntas Al Quran.
Bayangkan
apabila kita akan pergi ke puncak Gunung Semeru. Sebelum pergi kita dibekali
dengan peta, rambu-rambu dan petunjuk-petunjuk oleh seorang pendaki gunung
profesional. Tetapi kita tidak memahami petunjuk-petunjuk tersebut. Apakah kita
dijamin akan sampai di puncak gunung semeru dengan selamat ? Kita mungkin lebih
senang bertanya dengan penduduk setempat. Bila kita bertemu dengan penduduk
yang sangat kenal gunung semeru mungkin kita akan sampai dengan selamat. Tetapi
bila orang kita tanya juga kurang faham jalan ke puncak gunung, akankah kita
sampai ke puncak dengan selamat atau mungkin kita bisa tersesat ? Padahal bila
kita memahami, petunjuk, peta dan juga bertanya maka kita akan mendapat jalan
pintas untuk sampai ke puncak gunung.
Memang
solusi pemahaman Al Quran ini tidak akan dapat berhasil bila sistem pendidikan
agama tidak berjalan intensif sejak dini. Sebagai permisalan, bahasa Inggris
diajarkan sejak SD. Maka kita lihat ketika lulus SMA para mahasiswa sudah bisa
belajat dari diktat berbahas Inggris. Bila sistem ini diterpakan juga untuk
bahasa Arab (sebagai media inti pemahaman Al Quran) maka ketika berumur 20-25
seorang muslim sudah mulai bisa memahami Al Quran dengan mandiri.
Wahai
saudara-saudaraku kaum muslimin, memahami Al Quran bukan fardhu kifayah yang
dibebankan kepada ulama, kiai atau ustadz. Tapi seperti dicontohkan oleh para
sahabat, membaca, menghafal, memahami dan melaksanakan Al Quran dilakukan
sebagai kewajiban indivial setiap kaum muslimin. Bila secara individu seorang
muslim meningkat kualitasnya, keluarga yang dibinanya juga akan berkulaitas
sehingga akhirnya sebuah masyarakat madani yang dirindukan selama ini juga
dapat terwujud.
Bagi
para penghafal Al Quran yang pemula, menambah hafalan mempunyai kesulitan
tersendiri. Tetapi seiring dengan waktu kesulitan ini akan terlampaui. Ketika
itu kesulitan lain timbul yaitu mengulang hafalan (murajaah). Pada saat hafalan
makin bertambah banyak, murajaah juga semakin berat.
Untuk
surat-surat yang agak panjang (50 ayat) dan yang panjang (diatas 100 ayat),
biasanya kita sangat hafal separuh awal dari surat tersebut. Untuk separuh
terakhir sulit bagi kita untuk mengingatnya. Ini akan ditandai dengan “macet”
ketika saat memurajaah. Mengapa hal ini terjadi? Hal ini disebabkan kita selalu
menghafal/murajaah dari awal surat (ayat 1). Ketika selesai menghafalkan sebuah
surat, ayat-ayat awal itulah yang lebih sering dilafadzkan dibandingkan dengan
ayat-ayat yang akhir. Sehingga otak kita lebih hafal ayat-ayat awal. Itulah
sebabnya kita sangat hafal ayat-ayat awal surat dan sering lupa pada ayat-ayat
akhir surat.
Kesulitan
kedua adalah ketika kita „macet“ sulit bagi kita untuk mengetahui ayat
selanjutnya. Ayat-ayat setelah „ayat macet“ menjadi gelap. Ini dikarenakan kita
menghafal secara sekuensial/berurutan, sehingga satu ayat selalu diingat
setelah ayat sebelumnya. Sehingga kalau ayat “sebelumnya” macet maka ayat
selanjutnya menjadi hilang juga. Dalm hal ini tidak ada cara lain untuk
mengingatnya selain membuka mushaf Al Qur’an.
Lalu bagaimana cara efektif untuk menanggulangi
masalah tersebut?
Kuncinya
adalah ketika proses menghafal sebuah surat dilakukan. Hafalkan surat dengan
cara memotongnya menjadi 10 ayat 10 ayat. Di dalam tiap sepuluh ayat
potong-potong lagi menjadi 5 ayat-5 ayat.
Misalnya
kita menghafal surat An Naba yang didalamnya ada 40 ayat. Caranya adalah
sebagai berikut :
1.
Hafalkan
ayat 1 sampai lancar. Lakukan sampai ayat 5.
2.
Kemudian
hafalkan secara berurut ayat 1 sampai dengan ayat 5. Ikatlah ayat 1 sampai ayat
5 dengan mengulang-ulangnya bersama-sama sampai lancar. Gerak-gerakkan
jari-jari tangan anda sesuai dengan ayat yang sedang di hafal. Bila menghafal
ayat 1 gerakkan ibu jari, ayat 2 gerakkan jari telunjuk, ayat 3 gerakkan jari
tengah, ayat 4 gerakkan jari manis dan ayat 5 gerakkan jari kelingking.
3.
Kemudian
hafalkan ayat 6 sampai 10 sambil menggerak-gerakkan jari-jari tangan kiri sama
seperti yang dilakukan oleh tangan kanan. Ulang-ulang ayat 6 sampai 10 sampai
lancar. Kegiatan ini mengikat ayat 6 sampai dengan ayat 10
4.
Sekarang
mengulang menghafal ayat 1 sampai 10 dengan sambil menggerak-gerakkan jari
sesuai dengan nomor ayat yang dilafazkan. Lakukan sampai lancar. Hal ini
mengikat ayat 1 sampai 10.
5.
Lakukan
langkah diatas untuk ayat 11-20, ayat 21-30 dan ayat 31-40.
6.
Terakhir
gabungkan semua ayat (ayat 1 sampai 40) dalam surat tsb. Ulang-ulang sampai
lancar
Kemudian
bagaimana anda murajaah sebuah surat bila kita telah menghafal secara
konvensional? Bila surat tersebut ayat-ayatnya pendek maka kelompokkan menjadi
10 ayat-10 ayat. Hafalkan per 10 ayat. Bila suratnya berayat yang
panjang-panjang seperti Al Baqarah, Ali Imran, An Nisaa dll, maka pecah 10 ayat
menjadi 5 ayat-ayat.
Manfaat
dari menghafal dengan sistem potongan ini adalah:
1.
Ketika
murajaah kita tidak selalu harus memulai dari awal surat – ayat1- sehingga
untuk surat yang panjang murajaah dapat dilakukan sepotong-sepotong di dalam
shalat kita. Misalnya: untuk setiap rakaat shalat kita membaca 10 ayat. Maka
ketika shubuh kita sudah dapat murajaah sampai 40 ayat (sunnat shubuh 2 rakaat
dan shubuh 2 rakaat). Ini cukup bagus untuk surat An Naba yang 40 ayat. Atau
untuk surat yang panjang seperti Al Baqarah, bila dilakukan 10 ayat untuk
setiap rakaat shalat, maka selesai shalat isya kita sudah murajaah 100 ayat!
Bila ditambah dengan shalat2 sunnah rawatib maka kita bisa murajaah 200 ayat
dalam sehari. Dan bila ditambahkan dengan shalat dhuha dan tahajjud kita bisa
mnyelesaikan 286 ayat Al Baqarah dalam shalat yang dilakukan sehari semalam!
2.
Kita
tidak merasa susah murajaah karena seakan-akan kita sedang menghafal
surat-surat yang pendek saja. Secara psikologis kita merasa lebih ringan. Dan
di dalam memurajaah surat yang panjang kita mempunyai
3.
Menguatkan
secara merata ayat-ayat di seluruh surat. Bukan hanya ayat-ayat awal surat
saja. Ketika memurajaah surat-surat yang panjang dan kemudian terputus oleh
kondisi eksternal – tamu datang, telfon berdering, anak menangis, masakan
gosong dll- kita masih tetap bisa melanjutkan ayat selanjutnya setelah kondisi
eksternal tertangani. Tanpa harus mengulangi dari awal surat. Dengan metoda
menghafal konvensional maka kita kita harus selalu mengulangi mulai dari awal
surat lagi. Kondisi-kondisi seperti ini akan menguatkan hafalan ayat-ayat awal
dan menurunkan kualitas hafalan ayat-ayat akhir.
4.
Hafal
nomot ayat tanpa kita sadari. Ini adalah bonus yang sangat bermanfaat untuk
kita
5.
Mengatasi
kasus „ayat macet“. Bila macet di satu ayat biasanya akan berhenti memurajaah
surat tersebut karena ayat-ayat yang selanjutnya sangat bergantung pada ayat
yang macet/lupa. Tetapi dengan sistem ‚potong surat’ ini kita masih tetap bisa
terus memurajaah ayat-ayat setelah ayat macet ini. Mengapa ? Karena dalam
menghafal sistem ini setiap ayat independen diletakkan dalam memori otak kita.
Sebuah ayat tidak hanya dikaitkan dengan ayat yang sebelumnya –seperti dalam
sistem menghafal konvensional- tapi juga dikaitkan dengan nomornya (yang
diingat secara tidak sadar dengan menggerak-gerakkan jari tangan ketika
menghafal). Ketika memori yang terkait dengan ayat sebelum terlupakan maka ada
„ pengait“ yang lain yaitu nomor surat. Percaya atau tidak? Anda tinggal
mencoba sistem ini dan merasakan hasilnya!
Melakukan
metoda ini tak sesulit membaca baris-baris di atas. Bila anda melakukannya ini
adalah hal yang sangat simpel. Metoda ini menjadikan kita santai dan tidak
stres dalam memurajaah. Karena kita mempunyai „petunjuk/milestones“ dalam
surat-surat hafalan kita yaitu ayat 1, 11, 21, 31, 41 dst. Kita akan memurajaah
„ayat-ayat pendek“, yaitu 10 ayat saja. Cobalah anda praktekkan dan anda akan
terkejut dengan hasilnya.
Demikianlah
renungan kita tentang Al Quran. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayahNya
kepada kita semua sehingga kita menjadi orang-orang yang mencintai Al Quran,
membacanya, menghafalkannya, memahaminya dan mengamalkannya.
Wallahu
alam bi shawab
Wassalamualaikum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar