UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
18 TAHUN 2012
TENTANG
PANGAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan
pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar
untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas;
b.
bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan
konsumsi Pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat
nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber
daya, kelembagaan, dan budaya lokal;
c.
bahwa sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar dan di sisi lain
memiliki sumber daya alam dan sumber Pangan yang beragam, Indonesia mampu memenuhi
kebutuhan Pangannya secara berdaulat dan mandiri;
d.
bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan sudah tidak sesuai lagi
dengan dinamika perkembangan kondisi eksternal dan internal, demokratisasi,
desentralisasi, globalisasi, penegakan hukum, dan beberapa peraturan
perundang-undangan lain yang dihasilkan kemudian sehingga perlu diganti;
e.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pangan.
Mengingat:
Pasal
20, Pasal 21, Pasal 28A, dan Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan
Persetujuan Bersama:
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG
TENTANG PANGAN.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan,
kehutanan,
perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah
yang
diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan
Pangan,
bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
2.
Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan
Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi
masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber
daya lokal.
3.
Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan
yang
beraneka
ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang
cukup
sampai
di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia,
sosial,
ekonomi,
dan kearifan lokal secara bermartabat.
4.
Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
5.
Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan
dari
kemungkinan
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan
kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat
sehingga aman untuk dikonsumsi.
6.
Produksi Pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah,
membuat,
mengawetkan,
mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk Pangan.
7.
Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil produksi dalam
negeri dan Cadangan Pangan Nasional serta impor apabila kedua sumber utama
tidak dapat memenuhi kebutuhan.
8.
Cadangan Pangan Nasional adalah persediaan Pangan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia untuk konsumsi manusia dan untuk menghadapi masalah
kekurangan Pangan, gangguan pasokan dan harga, serta keadaan darurat.
9.
Cadangan Pangan Pemerintah adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola
oleh Pemerintah.
10.
Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan
dikelola oleh pemerintah provinsi.
11.
Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah persediaan Pangan yang
dikuasai dan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota.
12.
Cadangan Pangan Pemerintah Desa adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan
dikelola oleh
pemerintah
desa.
13.
Cadangan Pangan Masyarakat adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola
oleh masyarakat di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah tangga.
14.
Penyelenggaraan Pangan adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
dalam
penyediaan,
keterjangkauan, pemenuhan konsumsi Pangan dan Gizi, serta keamanan Pangan dengan
melibatkan peran serta masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.
15.
Pangan Pokok adalah Pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari
sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal.
16.
Penganekaragaman Pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi
Pangan yang
beragam,
bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal.
17.
Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai
dengan potensi dan kearifan lokal.
18.
Pangan Segar adalah Pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat
dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan Pangan.
19.
Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode
tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
20.
Petani adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta
keluarganya yang melakukan usaha tani di
bidang Pangan.
21.
Nelayan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta
keluarganya yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
22.
Pembudi Daya Ikan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun
beserta keluarganya yang mata pencahariannya membesarkan, membiakkan, dan/atau
memelihara ikan dan sumber hayati perairan lainnya serta memanen hasilnya dalam
lingkungan yang terkontrol.
23.
Perdagangan Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam
rangka penjualan dan/atau pembelian Pangan, termasuk penawaran untuk menjual
Pangan dan kegiatan lain yang
berkenaan
dengan pemindahtanganan Pangan dengan memperoleh imbalan.
24.
Ekspor Pangan adalah kegiatan mengeluarkan Pangan dari daerah pabean negara
Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di
atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen.
25.
Impor Pangan adalah kegiatan memasukkan Pangan ke dalam daerah pabean negara
Republik
Indonesia
yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya,
tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen.
26.
Peredaran Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
penyaluran Pangan kepada masyarakat, baik diperdagangkan maupun tidak.
27.
Bantuan Pangan adalah Bantuan Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang diberikan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dalam mengatasi Masalah
Pangan dan Krisis Pangan, meningkatkan akses Pangan bagi masyarakat miskin
dan/atau rawan Pangan dan Gizi, dan kerja sama internasional.
28.
Masalah Pangan adalah keadaan kekurangan, kelebihan, dan/atau ketidakmampuan
perseorangan atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan Pangan dan Keamanan
Pangan.
29.
Krisis Pangan adalah kondisi kelangkaan Pangan yang dialami sebagian besar
masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh, antara lain, kesulitan
distribusi Pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, dan
konflik sosial, termasuk akibat perang.
30.
Sanitasi Pangan adalah upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi
Pangan yang sehat dan higienis yang bebas dari bahaya cemaran biologis, kimia,
dan benda lain.
31.
Persyaratan Sanitasi adalah standar kebersihan dan kesehatan yang harus
dipenuhi untuk menjamin Sanitasi Pangan.
32.
Iradiasi Pangan adalah metode penanganan Pangan, baik dengan menggunakan zat
radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan
kerusakan, membebaskan Pangan dari jasad renik patogen, serta mencegah
pertumbuhan tunas.
33.
Rekayasa Genetik Pangan adalah suatu proses yang melibatkan pemindahan gen
(pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau
sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan produk Pangan yang
lebih unggul.
34.
Pangan Produk Rekayasa Genetik adalah Pangan yang diproduksi atau yang
menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang
dihasilkan dari proses rekayasa genetik.
35.
Kemasan Pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus
Pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan Pangan maupun tidak.
36.
Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan
kandungan Gizi Pangan.
37.
Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam Pangan yang terdiri atas
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain
yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
38.
Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum.
39.
Pelaku Usaha Pangan adalah Setiap Orang yang bergerak pada satu atau lebih
subsistem agribisnis Pangan, yaitu penyedia masukan produksi, proses produksi,
pengolahan, pemasaran, perdagangan, dan penunjang.
40.
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.41. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
BAB
II
ASAS,
TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN
Pasal
2
Penyelenggaraan
Pangan dilakukan dengan berdasarkan asas:
a.
kedaulatan;
b.
kemandirian;
c.
ketahanan;
d.
keamanan;
e.
manfaat;
f.
pemerataan;
g.
berkelanjutan; dan
h.
keadilan.
Pasal
3
Penyelenggaraan
Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat
secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian
Pangan, dan Ketahanan Pangan.
Pasal
4
Penyelenggaraan
Pangan bertujuan untuk:
a.
meningkatkan kemampuan memproduksi Pangan secara mandiri;
b.
menyediakan Pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu,
dan Gizi bagi konsumsi masyarakat;
c.
mewujudkan tingkat kecukupan Pangan, terutama Pangan Pokok dengan harga yang
wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
d.
mempermudah atau meningkatkan akses Pangan bagi masyarakat, terutama masyarakat
rawan Pangan dan Gizi;
e.
meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas Pangan di pasar dalam negeri
dan luar negeri;
f.
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang Pangan yang aman,
bermutu, dan bergizi bagi konsumsi masyarakat;
g.
meningkatkan kesejahteraan bagi Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku
Usaha Pangan; dan
h.
melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya Pangan nasional.
Pasal
5
Lingkup
pengaturan Penyelenggaraan Pangan meliputi:
a.
perencanaan Pangan;
b.
Ketersediaan Pangan;
c.
keterjangkauan Pangan;
d.
konsumsi Pangan dan Gizi;
e.
Keamanan Pangan;
f.
label dan iklan Pangan;
g.
pengawasan;
h.
sistem informasi Pangan;
i.
penelitian dan pengembangan Pangan;
j.
kelembagaan Pangan;
k.
peran serta masyarakat; dan
l.
penyidikan.
BAB
III
PERENCANAAN
Pasal
6
Perencanaan
Pangan dilakukan untuk merancang Penyelenggaraan Pangan ke arah Kedaulatan
Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan.
Pasal
7
Perencanaan
Pangan harus memperhatikan:
a.
pertumbuhan dan sebaran penduduk;
b.
kebutuhan konsumsi Pangan dan Gizi;
c.
daya dukung sumber daya alam, teknologi, dan kelestarian lingkungan;
d.
pengembangan sumber daya manusia dalam Penyelenggaraan Pangan;
e.
kebutuhan sarana dan prasarana Penyelenggaraan Pangan;
f.
potensi Pangan dan budaya lokal;
g.
rencana tata ruang wilayah; dan
h.
rencana pembangunan nasional dan daerah.
Pasal
8
(1)
Perencanaan Pangan harus terintegrasi dalam rencana pembangunan nasional dan
rencana
pembangunan
daerah.
(2)
Perencanaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran masyarakat.
(3)
Perencanaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun di tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(4)
Perencanaan Pangan ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka panjang, rencana
pembangunan jangka menengah, dan rencana kerja tahunan di tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal
9
(1)
Perencanaan Pangan tingkat nasional dilakukan dengan memperhatikan rencana
pembangunan nasional serta kebutuhan dan usulan provinsi.
(2)
Perencanaan Pangan tingkat provinsi dilakukan dengan memperhatikan rencana
pembangunan provinsi dan memperhatikan kebutuhan dan usulan kabupaten/kota
serta dilakukan dengan berpedoman pada rencana Pangan nasional.
(3)
Perencanaan Pangan tingkat kabupaten/kota dilakukan dengan memperhatikan
rencana pembangunan kabupaten/kota dan rencana Pangan tingkat provinsi serta
dilakukan dengan berpedoman pada rencana Pangan nasional.
Pasal
10
(1)
Perencanaan Pangan diwujudkan dalam bentuk rencana Pangan.
(2)
Rencana Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
rencana Pangan nasional;
b.
rencana Pangan provinsi; dan
c.
rencana Pangan kabupaten/kota.
(3)
Rencana Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Presiden,
gubernur, atau
bupati/walikota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
11
Rencana
Pangan nasional sekurang-kurangnya memuat:
a.
kebutuhan konsumsi Pangan dan status Gizi masyarakat;
b.
Produksi Pangan;
c.
Cadangan Pangan terutama Pangan Pokok;
d.
Ekspor Pangan;
e.
Impor Pangan;
f.
Penganekaragaman Pangan;
g.
distribusi, perdagangan, dan pemasaran Pangan, terutama Pangan Pokok;
h.
stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok;
i.
Keamanan Pangan;
j.
penelitian dan pengembangan Pangan;
k.
kebutuhan dan diseminasi ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Pangan;
l.
kelembagaan Pangan; dan
m.
tingkat pendapatan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan.
BAB
IV
KETERSEDIAAN
PANGAN
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal
12
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas Ketersediaan Pangan.
(2)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas Ketersediaan Pangan di
daerah dan
pengembangan
Produksi Pangan Lokal di daerah.
(3)
Dalam mewujudkan Ketersediaan Pangan melalui pengembangan Pangan Lokal,
Pemerintah Daerah menetapkan jenis Pangan lokalnya.
(4)
Penyediaan Pangan diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi Pangan bagi
masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan secara berkelanjutan.
(5)
Untuk mewujudkan Ketersediaan Pangan melalui Produksi Pangan dalam negeri
dilakukan dengan:
a.
mengembangkan Produksi Pangan yang bertumpu pada sumber daya, kelembagaan, dan
budaya
lokal;
b.
mengembangkan efisiensi sistem usaha Pangan;
c.
mengembangkan sarana, prasarana, dan teknologi untuk produksi, penanganan
pascapanen,
pengolahan,
dan penyimpanan Pangan;
d.
membangun, merehabilitasi, dan mengembangkan prasarana Produksi Pangan;
e.
mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif; dan
f.
membangun kawasan sentra Produksi Pangan.
(6)
Pemerintah menetapkan sentra Produksi Pangan Lokal sesuai dengan usulan
Pemerintah Daerah.
Pasal
13
Pemerintah
berkewajiban mengelola stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok, mengelola
cadangan Pangan Pokok Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untuk mewujudkan
kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.
Pasal
14
(1)
Sumber penyediaan Pangan berasal dari Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan
Pangan
Nasional.
(2)
Dalam hal sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
mencukupi, Pangan dapat dipenuhi dengan Impor Pangan sesuai dengan kebutuhan.
Pasal
15
(1)
Pemerintah mengutamakan Produksi Pangan dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan
konsumsi Pangan.
(2)
Dalam hal Ketersediaan Pangan untuk kebutuhan konsumsi dan cadangan Pangan
sudah tercukupi, kelebihan Produksi Pangan dalam negeri dapat digunakan untuk
keperluan lain.
Bagian
Kedua
Produksi
Pangan Dalam Negeri
Paragraf
1
Potensi
Produksi Pangan
Pasal
16
(1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengembangkan potensi Produksi
Pangan.
(2)
Pengembangan potensi Produksi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan
memanfaatkan:
a.
sumber daya manusia;
b.
sumber daya alam;
c.
sumber pendanaan;
d.
ilmu pengetahuan dan teknologi;
e.
sarana dan prasarana Pangan; dan
f.
kelembagaan Pangan.
Pasal
17
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah berkewajiban melindungi dan memberdayakan Petani,
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan sebagai produsen Pangan.
Pasal
18
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah dalam memenuhi kebutuhan Pangan berkewajiban:
a.
mengatur, mengembangkan, dan mengalokasikan lahan pertanian dan sumber daya
air;
b.
memberikan penyuluhan dan pendampingan;
c.
menghilangkan berbagai kebijakan yang berdampak pada penurunan daya saing; dan
d.
melakukan pengalokasian anggaran.
Pasal
19
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah berkewajiban mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk peningkatan Produksi Pangan.
Pasal
20
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah memfasilitasi penggunaan dan pengembangan sarana dan
prasarana dalam upaya meningkatkan Produksi Pangan.
Pasal
21
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah mengembangkan kelembagaan Pangan masyarakat untuk
meningkatkan Produksi Pangan.
Paragraf
2
Ancaman
Produksi Pangan
Pasal
22
(1) Ancaman Produksi Pangan merupakan kejadian
yang dapat menimbulkan kegagalan Produksi Pangan yang disebabkan oleh:
a.
perubahan iklim;
b.
serangan organisme pengganggu tumbuhan serta wabah penyakit hewan dan ikan;
c.
bencana alam;
d.
bencana sosial;
e.
pencemaran lingkungan;
f.
degradasi sumber daya lahan dan air;
g.
kompetisi pemanfaatan sumber daya Produksi Pangan;
h.
alih fungsi penggunaan lahan; dan
i.
disinsentif ekonomi.
(2)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mengantisipasi dan menanggulangi
ancaman Produksi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui bantuan
teknologi dan regulasi.
Bagian
Ketiga
Cadangan
Pangan Nasional
Paragraf
1
Umum
Pasal
23
(1)
Dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan,
Pemerintah menetapkan Cadangan Pangan Nasional.
(2)
Cadangan Pangan Nasional terdiri atas:
a.
Cadangan Pangan Pemerintah;
b.
Cadangan Pangan Pemerintah Daerah; dan
c.
Cadangan Pangan Masyarakat.
Pasal
24
Cadangan
Pangan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilakukan untuk
mengantisipasi:
a.
kekurangan Ketersediaan Pangan;
b.
kelebihan Ketersediaan Pangan;
c.
gejolak harga Pangan; dan/atau
d.
keadaan darurat.
Pasal
25
Cadangan
Pangan Nasional dapat dimanfaatkan untuk kerja sama internasional dan Bantuan
Pangan luar negeri.
Pasal
26
Pemerintah
dapat mengembangkan kemitraan dengan Pelaku Usaha Pangan, perguruan tinggi, dan
masyarakat dalam pengembangan Cadangan Pangan Nasional.
Paragraf
2
Cadangan
Pangan Pemerintah
Pasal
27
(1)
Dalam mewujudkan Cadangan Pangan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1),
Pemerintah
menetapkan Cadangan Pangan Pemerintah dan Cadangan Pangan Pemerintah Daerah.
(2)
Cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan
bersumber dari
Produksi
Pangan dalam negeri.
(3)
Cadangan Pangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a.
Cadangan Pangan Pemerintah Desa;
b.
Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan
c.
Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi.
Pasal
28
(1)
Pemerintah menetapkan jenis dan jumlah Pangan Pokok tertentu sebagai Cadangan
Pangan Pemerintah.
(2)
Cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara
berkala dengan memperhitungkan tingkat kebutuhan.
(3)
Pengadaan Cadangan Pangan Pemerintah diutamakan melalui pembelian Pangan Pokok
produksi dalam negeri, terutama pada saat panen raya.
(4)
Ketentuan mengenai penetapan Cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan pengadaan Cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal
29
(1)
Pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan/atau pemerintah desa
menetapkan jenis dan jumlah cadangan Pangan tertentu sesuai dengan kebutuhan
konsumsi masyarakat setempat.
(2)
Cadangan Pangan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan pemerintah
desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari produksi dalam negeri.
Pasal
30
(1)
Pemerintah menyelenggarakan pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran Cadangan
Pangan Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi dengan
memperhatikan Cadangan Pangan Pemerintah Desa, Cadangan Pangan Pemerintah
Kabupaten/Kota, dan Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi.
Pasal
31
(1)
Penyaluran Cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) dilakukan untuk menanggulangi:
a.
kekurangan Pangan;
b.
gejolak harga Pangan;
c.
bencana alam;
d.
bencana sosial; dan/atau
e.
menghadapi keadaan darurat.
(2)
Penyaluran Cadangan Pangan Pemerintah dilakukan dengan:
a.
mekanisme yang disesuaikan dengan kondisi wilayah dan rumah tangga; dan
b.
tidak merugikan konsumen dan produsen.
(3)
Dalam hal tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pemerintah berhak
mengatur penyaluran Cadangan Pangan Pemerintah Daerah.
Pasal
32
(1)
Pemerintah menugasi kelembagaan Pemerintah yang bergerak di bidang Pangan untuk
mengelola Cadangan Pangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Kelembagaan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan
sarana, jaringan, dan infrastruktur secara nasional.
(3)
Dalam pengelolaan cadangan Pangan, Pemerintah Daerah dapat menunjuk kelembagaan
daerah
dan/atau
bekerja sama dengan kelembagaan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) .
Paragraf
3
Cadangan
Pangan Masyarakat
Pasal
33
(1)
Masyarakat mempunyai hak dan kesempatan seluas-luasnya dalam upaya mewujudkan
Cadangan Pangan Masyarakat.
(2)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan Cadangan Pangan
Masyarakat sesuai dengan kearifan lokal.
Bagian
Keempat
Ekspor
Pangan
Pasal
34
(1)
Ekspor Pangan dapat dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan konsumsi Pangan di
dalam negeri dan kepentingan nasional.
(2)
Ekspor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan
konsumsi Pangan Pokok dan Cadangan Pangan Nasional.
Pasal
35
(1)
Setiap Orang yang mengekspor Pangan bertanggung jawab atas keamanan, mutu, dan
Gizi Pangan yang dipersyaratkan negara tujuan.
(2)
Ekspor Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian
Kelima
Impor
Pangan
Pasal
36
(1)
Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi
dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.
(2)
Impor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri
dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi.
(3)
Kecukupan Produksi Pangan Pokok dalam negeri dan Cadangan Pangan Pemerintah
ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang mempunyai tugas
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan.
Pasal
37
(1)
Impor Pangan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri
wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu, Gizi, dan tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.
(2)
Ketentuan mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal
38
Impor
Pangan wajib memenuhi persyaratan batas kedaluwarsa dan kualitas Pangan.
Pasal
39
Pemerintah
menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif
terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan Petani,
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil.
Pasal
40
Impor
Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 39 dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian
Keenam
Penganekaragaman
Pangan
Pasal
41
Penganekaragaman
Pangan merupakan upaya meningkatkan Ketersediaan Pangan yang beragam dan yang berbasis
potensi sumber daya lokal untuk:
a.
memenuhi pola konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman;
b.
mengembangkan usaha Pangan; dan/atau
c.
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pasal
42
Penganekaragaman
Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dilakukan dengan:
a.
penetapan kaidah Penganekaragaman Pangan;
b.
pengoptimalan Pangan Lokal;
c.
pengembangan teknologi dan sistem insentif bagi usaha pengolahan Pangan Lokal;
d.
pengenalan jenis Pangan baru, termasuk Pangan Lokal yang belum dimanfaatkan;
e.
pengembangan diversifikasi usaha tani dan perikanan;
f.
peningkatan ketersediaan dan akses benih dan bibit tanaman, ternak, dan ikan;
g.
pengoptimalan pemanfaatan lahan, termasuk lahan pekarangan;
h.
penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah di bidang Pangan; dan
i.
pengembangan industri Pangan yang berbasis Pangan Lokal.
Pasal
43
Ketentuan
lebih lanjut mengenai Penganekaragaman Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 dan Pasal 42 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketujuh
Krisis
Pangan
Pasal
44
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan tindakan untuk
mengatasi Krisis Pangan.
(2)
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
a.
pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran Cadangan Pangan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah;
b.
mobilisasi Cadangan Pangan Masyarakat di dalam dan antardaerah;
c.
menggerakkan partisipasi masyarakat; dan/atau
d.
menerapkan teknologi untuk mengatasi Krisis Pangan dan pencemaran lingkungan.
Pasal
45
(1)
Penetapan kriteria dan status Krisis Pangan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan skala krisis.
(2)
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a.
Presiden untuk skala nasional;
b.
gubernur untuk skala provinsi; dan
c.
bupati/walikota untuk skala kabupaten/kota.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kriteria dan status Krisis Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan pada
Peraturan Pemerintah.
BAB
V
KETERJANGKAUAN
PANGAN
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal
46
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam mewujudkan
keterjangkauan Pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan.
(2)
Dalam mewujudkan keterjangkauan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan kebijakan Pemerintah di bidang:
a.
distribusi;
b.
pemasaran;
c.
perdagangan;
d.
stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok; dan
e.
Bantuan Pangan.
Bagian
Kedua
Distribusi
Pangan
Pasal
47
(1) Distribusi Pangan dilakukan untuk memenuhi
pemerataan Ketersediaan Pangan ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia secara berkelanjutan.
(2)
Distribusi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan agar
perseorangan dapat memperoleh Pangan dalam jumlah yang cukup, aman, bermutu,
beragam, bergizi, dan terjangkau.
(3)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap distribusi Pangan
sesuai dengan kewenangannya.
Pasal
48
(1)
Distribusi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilakukan melalui:
a.
pengembangan sistem distribusi Pangan yang menjangkau seluruh wilayah Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia secara efektif dan efisien;
b.
pengelolaan sistem distribusi Pangan yang dapat mempertahankan keamanan, mutu,
gizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat;
dan
c.
perwujudan kelancaran dan keamanan distribusi Pangan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai distribusi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
49
(1)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mewujudkan kelancaran distribusi Pangan
dengan mengutamakan pelayanan transportasi yang efektif dan efisien sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan prioritas untuk kelancaran
bongkar muat produk Pangan.
(3)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban menyediakan sarana dan
prasarana distribusi Pangan, terutama Pangan Pokok.
(4)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mengembangkan lembaga distribusi
Pangan
masyarakat.
Bagian
Ketiga
Pemasaran
Pangan
Pasal
50
(1)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pembinaan kepada
pihak yang
melakukan
pemasaran Pangan.
(2)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar setiap pihak
mempunyai kemampuan menerapkan tata cara pemasaran yang baik.
(3)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan promosi untuk meningkatkan
penggunaan produk Pangan Lokal.
(4)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan promosi di luar negeri untuk
meningkatkan
pemasaran
produk Pangan.
Bagian
Keempat
Perdagangan
Pangan
Pasal
51
(1)
Pemerintah berkewajiban mengatur Perdagangan Pangan.
(2)
Pengaturan Perdagangan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
untuk:
a.
stabilisasi pasokan dan harga Pangan, terutama Pangan Pokok;
b.
manajemen Cadangan Pangan; dan
c.
penciptaan iklim usaha Pangan yang sehat.
Pasal
52
(1)
Dalam hal Perdagangan Pangan, Pemerintah menetapkan mekanisme, tata cara, dan
jumlah maksimal penyimpanan Pangan Pokok oleh Pelaku Usaha Pangan.
(2)
Ketentuan mengenai mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan pada Peraturan
Pemerintah.
Pasal
53
Pelaku
Usaha Pangan dilarang menimbun atau menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah
maksimal
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52.
Pasal
54
(1)
Pelaku Usaha Pangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
denda;
b.
penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; dan/atau
c.
pencabutan izin.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kelima
Stabilisasi
Pasokan dan Harga Pangan Pokok
Pasal
55
(1)
Pemerintah berkewajiban melakukan stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok di
tingkat produsen dan konsumen.
(2)
Stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk melindungi pendapatan dan daya beli Petani, Nelayan, Pembudi
Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil, serta menjaga
keterjangkauan konsumen terhadap Pangan Pokok.
Pasal
56
Stabilisasi
pasokan dan harga Pangan Pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dilakukan
melalui:
a.
penetapan harga pada tingkat produsen sebagai pedoman pembelian Pemerintah;
b.
penetapan harga pada tingkat konsumen sebagai pedoman bagi penjualan
Pemerintah;
c.
pengelolaan dan pemeliharaan Cadangan Pangan Pemerintah;
d.
pengaturan dan pengelolaan pasokan Pangan;
e.
penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif yang berpihak pada kepentingan
nasional;
f.
pengaturan kelancaran distribusi antarwilayah; dan/atau
g.
pengaturan Ekspor Pangan dan Impor Pangan.
Pasal
57
(1)
Pemerintah Daerah dapat menentukan harga minimum daerah untuk Pangan Lokal yang
tidak ditetapkan oleh Pemerintah.
(2)
Penentuan harga Pangan Lokal minimum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, dan/atau Peraturan
Bupati/Walikota.
Bagian
Keenam
Bantuan
Pangan
Pasal
58
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam penyediaan dan
penyaluran Pangan Pokok dan/atau Pangan lainnya sesuai dengan kebutuhan, baik
bagi masyarakat miskin, rawan Pangan dan Gizi, maupun dalam keadaan darurat.
(2)
Bantuan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengutamakan
produksi dalam negeri dan kearifan lokal.
BAB
VI
KONSUMSI
PANGAN DAN GIZI
Bagian
Kesatu
Konsumsi
Pangan
Pasal
59
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah berkewajiban meningkatkan pemenuhan kuantitas dan
kualitas konsumsi Pangan masyarakat melalui:
a.
penetapan target pencapaian angka konsumsi Pangan per kapita pertahun sesuai
dengan angka kecukupan Gizi;
b.
penyediaan Pangan yang beragam, bergizi seimbang, aman, dan tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat; dan
c.
pengembangan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pola konsumsi Pangan
yang beragam, bergizi seimbang, bermutu, dan aman.
Bagian
Kedua
Penganekaragaman
Konsumsi Pangan
Pasal
60
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mewujudkan penganekaragaman
konsumsi Pangan untuk memenuhi kebutuhan Gizi masyarakat dan mendukung hidup
sehat, aktif, dan produktif.
(2)
Penganekaragaman konsumsi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan membudayakan pola konsumsi Pangan
yang beragam, bergizi seimbang, dan aman serta sesuai dengan potensi dan
kearifan lokal.
Pasal
61
Penganekaragaman
konsumsi Pangan dilakukan dengan:
a.
mempromosikan penganekaragaman konsumsi Pangan;
b.
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi aneka ragam
Pangan
dengan
prinsip Gizi seimbang;
c.
meningkatkan keterampilan dalam pengembangan olahan Pangan Lokal; dan
d.
mengembangkan dan mendiseminasikan teknologi tepat guna untuk pengolahan Pangan
Lokal.
Pasal
62
Tercapainya
penganekaragaman konsumsi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 diukur
melalui pencapaian nilai komposisi pola Pangan dan Gizi seimbang.
Bagian
Ketiga
Perbaikan
Gizi
Pasal
63
(1)
Pemerintah menetapkan kebijakan di bidang Gizi untuk perbaikan status Gizi masyarakat.
(2)
Kebijakan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a.
penetapan persyaratan perbaikan atau pengayaan Gizi Pangan tertentu yang
diedarkan apabila terjadi kekurangan atau penurunan status Gizi masyarakat;
b.
penetapan persyaratan khusus mengenai komposisi Pangan untuk meningkatkan
kandungan Gizi Pangan Olahan tertentu yang diperdagangkan;
c.
pemenuhan kebutuhan Gizi ibu hamil, ibu menyusui, bayi, balita, dan kelompok
rawan Gizi lainnya;
dan
d.
peningkatan konsumsi Pangan hasil produk ternak, ikan, sayuran, buah-buahan,
dan umbi-umbian
lokal.
(3)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun rencana aksi Pangan dan Gizi setiap 5
(lima) tahun.
Pasal
64
(1)
Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu untuk diperdagangkan
wajib
menerapkan
tata cara pengolahan Pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau
kehilangan kandungan Gizi bahan baku Pangan yang digunakan.
(2)
Penerapan tata cara pengolahan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara
bertahap
berdasarkan jenis Pangan serta jenis dan skala usaha Produksi Pangan.
Pasal
65
(1)
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat
(1) dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
denda;
b.
penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c.
penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d.
ganti rugi; dan/atau
e.
pencabutan izin.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
66
Ketentuan
mengenai persyaratan khusus tentang komposisi, persyaratan perbaikan, atau
pengayaan Gizi dan tata cara pengolahan Pangan diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
BAB
VII
KEAMANAN
PANGAN
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal
67
(1)
Keamanan Pangan diselenggarakan untuk menjaga Pangan tetap aman, higienis,
bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat.
(2)
Keamanan Pangan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan cemaran biologis, kimia,
dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
manusia.
Pasal
68
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terwujudnya penyelenggaraan Keamanan
Pangan di setiap rantai Pangan secara terpadu.
(2)
Pemerintah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan.
(3)
Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan wajib menerapkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(4)
Penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat
(3)
dilakukan secara bertahap berdasarkan jenis Pangan dan skala usaha Pangan.
(5)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib membina dan mengawasi pelaksanaan
penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
Pasal
69
Penyelenggaraan
Keamanan Pangan dilakukan melalui:
a.
Sanitasi Pangan;
b.
pengaturan terhadap bahan tambahan Pangan;
c.
pengaturan terhadap Pangan Produk Rekayasa Genetik;
d.
pengaturan terhadap Iradiasi Pangan;
e.
penetapan standar Kemasan Pangan;
f.
pemberian jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan; dan
g.
jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan.
Bagian
Kedua
Sanitasi
Pangan
Pasal
70
(1)
Sanitasi Pangan dilakukan agar Pangan aman untuk dikonsumsi.
(2)
Sanitasi Pangan dilakukan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan.
(3)
Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan
standar Keamanan Pangan.
Pasal
71
(1)
Setiap Orang yang terlibat dalam rantai Pangan wajib mengendalikan risiko
bahaya pada Pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan, sarana produksi,
maupun dari perseorangan sehingga Keamanan Pangan terjamin.
(2)
Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan wajib:
a.
memenuhi Persyaratan Sanitasi; dan
b.
menjamin Keamanan Pangan dan/atau keselamatan manusia.
(3)
Ketentuan mengenai Persyaratan Sanitasi dan jaminan Keamanan Pangan dan/atau
keselamatan
manusia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
72
(1)
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat
(1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
denda;
b.
penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c.
penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d.
ganti rugi; dan/atau
e.
pencabutan izin.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketiga
Pengaturan
Bahan Tambahan Pangan
Pasal
73
Bahan
tambahan Pangan merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam Pangan untuk mempengaruhi
sifat dan/atau bentuk Pangan.
Pasal
74
(1)
Pemerintah berkewajiban memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan sebagai
bahan tambahan Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia
dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan untuk diedarkan.
(2)
Pemeriksaan keamanan bahan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk
mendapatkan
izin peredaran.
Pasal
75
(1)
Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan dilarang
menggunakan:
a.
bahan tambahan Pangan yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan;
dan/atau
b.
bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan Pangan.
(2)
Ketentuan mengenai ambang batas maksimal dan bahan yang dilarang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal
76
(1)
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat
(1) dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
denda;
b.
penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c.
penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d.
ganti rugi; dan/atau
e.
pencabutan izin.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keempat
Pengaturan
Pangan Produk Rekayasa Genetik
Pasal
77
(1)
Setiap Orang dilarang memproduksi Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik
Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan.
(2)
Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dilarang
menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang
dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan
Keamanan Pangan sebelum diedarkan.
(3)
Persetujuan Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diberikan oleh
Pemerintah.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara memperoleh persetujuan Keamanan Pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
78
(1)
Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan
pemanfaatan metode Rekayasa Genetik Pangan dalam kegiatan atau proses Produksi
Pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian Pangan yang dihasilkan dari
Rekayasa Genetik Pangan.
(2)
Ketentuan mengenai persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan
pemanfaatan metode Rekayasa Genetik Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
79
(1)
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat
(1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
denda;
b.
penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c.
penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d.
ganti rugi; dan/atau
e.
pencabutan izin.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kelima
Pengaturan
Iradiasi Pangan
Pasal
80
(1)
Iradiasi Pangan dapat dilakukan dengan menggunakan zat radioaktif maupun
akselerator.
(2)
Iradiasi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mencegah
terjadinya pembusukan dan kerusakan untuk membebaskan Pangan dari jasad renik
patogen, serta mencegah pertumbuhan tunas.
Pasal
81
(1)
Iradiasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dilakukan
berdasarkan izin Pemerintah.
(2)
Izin Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi:
a.
persyaratan kesehatan;
b.
prinsip pengolahan;
c.
dosis;
d.
teknik dan peralatan;
e.
penanganan limbah dan penanggulangan bahaya zat radioaktif;
f.
keselamatan kerja; dan
g.
kelestarian lingkungan.
(3)
Ketentuan mengenai pemenuhan izin Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keenam
Standar
Kemasan Pangan
Pasal
82
(1)
Kemasan Pangan berfungsi untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan,
melindungi produk dari kotoran, dan membebaskan Pangan dari jasad renik
patogen.
(2)
Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan dalam kemasan wajib menggunakan
bahan Kemasan Pangan yang tidak membahayakan kesehatan manusia.
Pasal
83
(1)
Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan dilarang
menggunakan bahan apa pun sebagai Kemasan Pangan yang dapat melepaskan cemaran
yang membahayakan kesehatan manusia.
(2)
Pengemasan Pangan yang diedarkan dilakukan melalui tata cara yang dapat
menghindarkan terjadinya kerusakan dan/atau pencemaran.
(3)
Ketentuan mengenai Kemasan Pangan, tata cara pengemasan Pangan, dan bahan yang
dilarang
digunakan
sebagai Kemasan Pangan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
84
(1)
Setiap Orang dilarang membuka kemasan akhir Pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan.
(2)
Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap
Pangan yang
pengadaannya
dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk
diperdagangkan lebih lanjut.
Pasal
85
(1)
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat
(2), Pasal 83 ayat (1), dan Pasal 84 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
denda;
b.
penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c.
penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d.
ganti rugi; dan/atau
e.
pencabutan izin.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketujuh
Jaminan
Keamanan Pangan dan Mutu Pangan
Pasal
86
(1)
Pemerintah menetapkan standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
(2)
Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan wajib memenuhi standar
Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
(3)
Pemenuhan standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2)
dilakukan
melalui penerapan sistem jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
(4)
Pemerintah dan/atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi oleh Pemerintah
dapat memberikan sertifikat Jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
(5)
Pemberian sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara
bertahap sesuai dengan jenis Pangan dan/atau skala usaha.
(6)
Ketentuan mengenai standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal
87
(1)
Pemerintah dapat menetapkan persyaratan agar Pangan diuji di laboratorium
sebelum diedarkan.
(2)
Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di laboratorium yang
ditunjuk oleh dan/atau yang telah memperoleh akreditasi dari Pemerintah.
(3)
Ketentuan mengenai persyaratan pengujian laboratorium diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal
88
(1)
Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan di bidang Pangan
Segar harus
memenuhi
persyaratan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar.
(2)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina, mengawasi, dan memfasilitasi
pengembangan usaha Pangan Segar untuk memenuhi persyaratan teknis minimal
Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
(3)
Penerapan persyaratan teknis Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap sesuai dengan jenis Pangan
Segar serta jenis dan/atau skala usaha.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan
Segar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
Pasal
89
Setiap
Orang dilarang memperdagangkan Pangan yang tidak sesuai dengan Keamanan Pangan
dan Mutu Pangan yang tercantum dalam label Kemasan Pangan.
Pasal
90
(1)
Setiap Orang dilarang mengedarkan Pangan tercemar.
(2)
Pangan tercemar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Pangan yang:
a.
mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat membahayakan kesehatan
atau jiwa
manusia;
b.
mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan;
c.
mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses Produksi
Pangan;
d.
mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan
nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai;
e.
diproduksi dengan cara yang dilarang; dan/atau
f.
sudah kedaluwarsa.
Pasal
91
(1)
Dalam hal pengawasan keamanan, mutu, dan Gizi, setiap Pangan Olahan yang dibuat
di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran,
Pelaku Usaha Pangan wajib memiliki izin edar.
(2)
Kewajiban memiliki izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan
terhadap Pangan Olahan tertentu yang diproduksi oleh industri rumah tangga.
(3)
Ketentuan mengenai kewajiban memiliki izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal
92
(1)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pengawasan dan pencegahan
secara berkala terhadap kadar atau kandungan cemaran pada Pangan.
(2)
Pengawasan dan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal
93
Setiap
Orang yang mengimpor Pangan untuk diperdagangkan wajib memenuhi standar
Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
Pasal
94
(1)
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat
(2) mengenai pemenuhan standar Mutu Pangan, Pasal 89 mengenai label Kemasan
Pangan, Pasal 90 ayat (1) mengenai Pangan tercemar, dan Pasal 93 mengenai impor
Pangan dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
denda;
b.
penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c.
penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d.
ganti rugi; dan/atau
e.
pencabutan izin.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedelapan
Jaminan
Produk Halal bagi yang Dipersyaratkan
Pasal
95
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap penerapan sistem
jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan terhadap Pangan.
(2)
Penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB
VIII
LABEL
DAN IKLAN PANGAN
Bagian
Kesatu
Label
Pangan
Pasal
96
(1)
Pemberian label Pangan bertujuan untuk memberikan informasi yang benar dan
jelas kepada masyarakat tentang setiap produk Pangan yang dikemas sebelum
membeli dan/atau mengonsumsi Pangan.
(2)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait dengan asal, keamanan,
mutu, kandungan Gizi, dan keterangan lain yang diperlukan.
Pasal
97
(1)
Setiap Orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan.
(2)
Setiap Orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan
label di dalam
dan/atau
pada Kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(3)
Pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa
Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai:
a.
nama produk;
b.
daftar bahan yang digunakan;
c.
berat bersih atau isi bersih;
d.
nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor;
e.
halal bagi yang dipersyaratkan;
f.
tanggal dan kode produksi;
g.
tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa;
h.
nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan
i.
asal usul bahan Pangan tertentu.
(4)
Keterangan pada label sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditulis, dicetak, atau
ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat.
Pasal
98
(1)
Ketentuan mengenai label berlaku bagi Pangan yang telah melalui proses
pengemasan akhir dan siap untuk diperdagangkan.
(2)
Ketentuan label tidak berlaku bagi Perdagangan Pangan yang dibungkus di hadapan
pembeli.
(3)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan terhadap usaha mikro
dan kecil agar secara bertahap mampu menerapkan ketentuan label sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal
99
Setiap
Orang dilarang menghapus, mencabut, menutup, mengganti label, melabel kembali,
dan/atau menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa Pangan yang diedarkan.
Pasal
100
(1)
Setiap label Pangan yang diperdagangkan wajib memuat keterangan mengenai Pangan
dengan benar dan tidak menyesatkan.
(2)
Setiap Orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan yang tidak benar
dan/atau menyesatkan pada label.
Pasal
101
(1)
Setiap Orang yang menyatakan dalam label bahwa Pangan yang diperdagangkan
adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan bertanggung jawab atas
kebenarannya.
(2)
Setiap Orang yang menyatakan dalam label bahwa Pangan yang diperdagangkan
adalah sesuai dengan klaim tertentu bertanggung jawab atas kebenaran klaim
tersebut.
(3)
Label tentang Pangan Olahan tertentu yang diperdagangkan wajib memuat
keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan, dan/atau keterangan lain yang
perlu diketahui mengenai dampak Pangan terhadap kesehatan manusia.
Pasal
102
(1)
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat
(1), Pasal 99, dan Pasal 100 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2)
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat
(2) wajib
mengeluarkan
dari dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau memusnahkan Pangan
yang diimpor.
(3)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
denda;
b.
penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c.
penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d.
ganti rugi; dan/atau
e.
pencabutan izin.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
103
Ketentuan
lebih lanjut mengenai label Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 sampai
dengan Pasal 101 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedua
Iklan
Pangan
Pasal
104
(1)
Setiap iklan Pangan yang diperdagangkan harus memuat keterangan atau pernyataan
mengenai Pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.
(2)
Setiap Orang dilarang memuat keterangan atau pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan dalam iklan Pangan yang diperdagangkan.
(3)
Pemerintah mengatur, mengawasi, dan melakukan tindakan yang diperlukan agar
iklan Pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan atau pernyataan yang
tidak benar atau menyesatkan.
Pasal
105
(1)
Setiap Orang yang menyatakan dalam iklan bahwa Pangan yang diperdagangkan
adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan wajib bertanggung jawab atas
kebenarannya.
(2)
Setiap Orang yang menyatakan dalam iklan bahwa Pangan yang diperdagangkan
adalah sesuai dengan klaim tertentu wajib bertanggung jawab atas kebenaran
klaim tersebut.
Pasal
106
(1)
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat
(2) dan Pasal 105 dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
denda;
b.
penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c.
penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d.
ganti rugi; dan/atau
e.
pencabutan izin.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
107
Ketentuan
lebih lanjut mengenai iklan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan
Pasal 105 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
BAB
IX
PENGAWASAN
Pasal
108
(1)
Dalam melaksanakan Penyelenggaraan Pangan, Pemerintah berwenang melakukan
pengawasan.
(2)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pemenuhan:
a.
ketersediaan dan/atau kecukupan Pangan Pokok yang aman, bergizi, dan terjangkau
oleh daya beli masyarakat; dan
b.
persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan serta persyaratan
label dan iklan Pangan.
(3)
Pengawasan terhadap:
a.
Ketersediaan dan/atau kecukupan Pangan Pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a
dilaksanakan
oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pangan;
b.
persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan, serta persyaratan
label dan iklan
Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, untuk Pangan Olahan, dilaksanakan
oleh
lembaga
pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan;
dan
c.
persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan, serta persyaratan
label dan iklan
Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, untuk Pangan Segar, dilaksanakan
oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Pangan.
(4)
Pemerintah menyelenggarakan program pemantauan, evaluasi, dan pengawasan secara
berkala
terhadap
kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau Peredaran
Pangan oleh Pelaku Usaha Pangan.
Pasal
109
Dalam
melaksanakan pengawasan, lembaga pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
108 ayat (3) sesuai dengan urusan dan/atau tugas serta kewenangan,
masing¬masing mengangkat pengawas.
Pasal
110
(1)
Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 berwenang:
a.
memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan atau proses
produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan Perdagangan Pangan untuk memeriksa,
meneliti, dan mengambil contoh Pangan dan segala sesuatu yang diduga digunakan
dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau Perdagangan
Pangan;
b.
menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau
patut diduga
yang
digunakan dalam pengangkutan Pangan serta mengambil dan memeriksa contoh
Pangan;
c.
membuka dan meneliti Kemasan Pangan;
d.
memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga memuat keterangan
mengenai
kegiatan
produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau Perdagangan Pangan, termasuk menggandakan
atau mengutip keterangan tersebut; dan
e.
memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha atau dokumen lain yang sejenis.
(2)
Pengawas dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilengkapi dengan surat perintah pengawasan dan/atau pemeriksaan serta tanda
pengenal.
Pasal
111
Dalam
hal hasil pemeriksaan oleh pengawas menunjukkan adanya bukti awal bahwa telah
terjadi tindak pidana di bidang Pangan, penyidikan segera dilakukan oleh
penyidik yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
112
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 sampai
dengan Pasal 110 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB
X
SISTEM
INFORMASI PANGAN
Pasal
113
Sistem
informasi Pangan mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan,
dan penyajian serta penyebaran data dan informasi tentang Pangan.
Pasal
114
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban membangun, menyusun, dan
mengembangkan sistem informasi Pangan yang terintegrasi.
(2)
Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit digunakan
untuk:
a.
perencanaan;
b.
pemantauan dan evaluasi;
c.
stabilitas pasokan dan harga Pangan; dan
d.
sistem peringatan dini terhadap Masalah Pangan serta kerawanan Pangan dan Gizi.
(3)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengumumkan
harga komoditas Pangan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengumuman harga komoditas Pangan diatur dalam
peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perdagangan.
Pasal
115
(1)
Sistem informasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1)
diselenggarakan oleh pusat data dan informasi Pangan.
(2)
Pusat data dan informasi Pangan wajib melakukan pemutakhiran data dan
informasi.
(3)
Pusat data dan informasi Pangan menyediakan data dan informasi paling sedikit
mengenai:
a.
jenis produk Pangan;
b.
neraca Pangan;
c.
letak, luas wilayah, dan kawasan Produksi Pangan;
d.
permintaan pasar;
e.
peluang dan tantangan pasar;
f.
produksi;
g.
harga;
h.
konsumsi;
i.
status Gizi;
j.
ekspor dan impor;
k.
perkiraan pasokan;
l.
perkiraan musim tanam dan musim panen;
m.
prakiraan iklim;
n.
teknologi Pangan; dan
o.
kebutuhan Pangan setiap daerah.
(4)
Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diakses dengan
mudah dan cepat oleh masyarakat, kecuali yang menyangkut kepentingan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
116
Ketentuan
lebih lanjut mengenai sistem informasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
113 sampai dengan Pasal 115 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB
XI
PENELITIAN
DAN PENGEMBANGAN PANGAN
Pasal
117
Penelitian
dan pengembangan Pangan dilakukan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi Pangan serta menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan Pangan yang
mampu meningkatkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan.
Pasal
118
(1)
Penelitian dan pengembangan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117
diarahkan untuk menjamin penyediaan, penyimpanan, pengolahan, dan distribusi
Pangan agar mendapatkan bahan Pangan yang bermutu dan aman dikonsumsi bagi
masyarakat.
(2)
Penelitian dan pengembangan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan:
a.
menciptakan produk Pangan yang berdaya saing di tingkat lokal, nasional, dan
internasional;
b.
mempercepat pemuliaan dan perakitan untuk menghasilkan varietas unggul sumber
Pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan yang toleran terhadap cekaman
biotik dan abiotik, tahan terhadap organisme pengganggu tumbuhan atau wabah
penyakit hewan dan ikan, dan adaptif terhadap perubahan iklim;
c.
merekayasa inovasi teknologi dan kelembagaan sistem budi daya tanaman, hewan,
dan ikan sebagai sumber Pangan yang dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi,
dan daya saing, serta melestarikan keanekaragaman hayati;
d.
merekayasa inovasi teknologi dan kelembagaan pascapanen, pengolahan, dan
pemasaran hasil untuk mengembangkan produk Pangan Olahan berbasis Pangan Lokal,
peningkatan nilai tambah, pengembangan bisnis Pangan, dan pengayaan komposisi kandungan
Gizi Pangan yang amandikonsumsi;
e.
menciptakan produk Pangan Lokal yang dapat menyubstitusi Pangan Pokok dengan memperhatikan
kesesuaian kandungan vitamin dan zat lain di dalamnya;
f.
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lahan, air, iklim, dan genetik guna
mempertahankan dan meningkatkan kapasitas Produksi Pangan nabati dan hewani
secara nasional; dan
g.
menghasilkan rekomendasi kebijakan pembangunan Pangan.
Pasal
119
(1)
Pemerintah wajib melaksanakan penelitian dan pengembangan Pangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 117 dan Pasal 118 secara terus-menerus.
(2)
Pemerintah mendorong dan menyinergikan kegiatan penelitian dan pengembangan
Pangan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, lembaga pendidikan, lembaga
penelitian, Pelaku Usaha Pangan, dan masyarakat.
Pasal
120
Penelitian
dan pengembangan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dapat dilakukan
secara mandiri dan/atau melalui kerja sama dengan lembaga penelitian internasional,
baik yang dikelola Pemerintah maupun swasta.
Pasal
121
Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban memfasilitasi publikasi, penyebaran,
pemanfaatan, dan penerapan hasil penelitian Pangan.
Pasal
122
Kerja
sama internasional untuk pengembangan Pangan Lokal dapat dilakukan apabila
diinisiasi oleh lembaga di dalam negeri setelah mendapat izin menteri yang
membidangi penelitian.
Pasal
123
(1)
Setiap Orang asing dapat melakukan penelitian Pangan untuk kepentingannya di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)
Dalam melakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Setiap Orang
asing wajib menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Dalam hal penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan material
hayati dari dalam negeri yang bertujuan untuk komersial, Setiap Orang asing
wajib memberikan royalti kepada Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal
124
Pemerintah
memfasilitasi dan memberikan pelindungan hak atas kekayaan intelektual terhadap
hasil penelitian dan pengembangan Pangan serta Pangan Lokal unggulan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal
125
Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah memberikan penghargaan dan/atau insentif bagi
peneliti dan/atau penelitian Pangan yang mampu menghasilkan teknologi unggul
yang bermanfaat bagi masyarakat dalam pewujudan Kedaulatan Pangan, Kemandirian
Pangan, dan Ketahanan Pangan.
BAB
XII
KELEMBAGAAN
PANGAN
Pasal
126
Dalam
hal mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan
nasional, dibentuk lembaga Pemerintah yang menangani bidang Pangan yang berada
di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal
127
Lembaga
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 mempunyai tugas melaksanakan
tugas pemerintahan di bidang Pangan.
Pasal
128
Lembaga
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 dapat mengusulkan kepada
Presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara di
bidang Pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau
distribusi Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal
129
Ketentuan
lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja lembaga Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 126 sampai Pasal 128 diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB
XIII
PERAN
SERTA MASYARAKAT
Pasal
130
(1)
Masyarakat dapat berperan serta dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian
Pangan, dan Ketahanan Pangan.
(2)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
a.
pelaksanaan produksi, distribusi, perdagangan, dan konsumsi Pangan;
b.
penyelenggaraan Cadangan Pangan Masyarakat;
c.
pencegahan dan penanggulangan rawan Pangan dan Gizi;
d.
penyampaian informasi dan pengetahuan Pangan dan Gizi;
e.
pengawasan kelancaran penyelenggaraan Ketersediaan Pangan, keterjangkauan
Pangan,
Penganekaragaman
Pangan, dan Keamanan Pangan; dan/atau
f.
peningkatan Kemandirian Pangan rumah tangga.
(3)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mendorong peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal
131
(1)
Masyarakat dapat menyampaikan permasalahan, masukan, dan/atau cara penyelesaian
Masalah Pangan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
(2)
Ketentuan mengenai tata cara penyampaian permasalahan, masukan, dan/atau cara
penyelesaian Masalah Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB
XIV
PENYIDIKAN
Pasal
132
(1)
Selain pejabat polisi negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Pangan diberi
wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana
di bidang Pangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang
Hukum Acara Pidana.
(2)
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana
di
bidang Pangan;
b.
melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau
sebagai
saksi dalam tindak pidana di bidang Pangan;
c.
melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap barang bukti tindak pidana di
bidang Pangan;
d.
meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan tindak
pidana
di bidang Pangan;
e.
membuat dan menandatangani berita acara;
f.
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya
tindak pidana di
bidang
Pangan; dan
g.
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang Pangan.
(3)
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian negara Republik
Indonesia.
(4)
Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan
tindakan penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan
koordinasi dengan pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan
hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik kepolisian
negara Republik Indonesia.
(6)
Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata cara serta proses
penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB
XV
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
133
Pelaku
Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah
maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh
keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung
tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda
paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal
134
Setiap
Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu untuk diperdagangkan, yang
dengan sengaja tidak menerapkan tata cara pengolahan Pangan yang dapat
menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan Gizi bahan baku Pangan
yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal
135
Setiap
Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan yang tidak memenuhi Persyaratan
Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
Pasal
136
Setiap
Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan yang dengan sengaja
menggunakan:
a.
bahan tambahan Pangan melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; atau
b.
bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan Pangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Pasal
137
(1)
Setiap Orang yang memproduksi Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik
Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
(2)
Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dengan
menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang
dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan
Keamanan Pangan sebelum diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal
138
Setiap
Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan, yang dengan sengaja
menggunakan bahan apa pun sebagai Kemasan Pangan yang dapat melepaskan cemaran
yang membahayakan kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal
139
Setiap
Orang yang dengan sengaja membuka kemasan akhir Pangan untuk dikemas kembali
dan diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal
140
Setiap
Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan yang dengan sengaja tidak
memenuhi standar Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal
141
Setiap
Orang yang dengan sengaja memperdagangkan Pangan yang tidak sesuai dengan
Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang tercantum dalam label Kemasan Pangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal
142
Pelaku
Usaha Pangan yang dengan sengaja tidak memiliki izin edar terhadap setiap
Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk
diperdagangkan dalam kemasan eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal
143
Setiap
Orang yang dengan sengaja menghapus, mencabut, menutup, mengganti label, melabel
kembali, dan/atau menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa Pangan yang diedarkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).
Pasal
144
Setiap
Orang yang dengan sengaja memberikan keterangan atau pernyataan yang tidak
benar atau
menyesatkan
pada label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah).
Pasal
145
Setiap
Orang yang dengan sengaja memuat keterangan atau pernyataan tentang Pangan yang
diperdagangkan melalui iklan yang tidak benar atau menyesatkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal
146
(1)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137, Pasal 138, Pasal 142,
Pasal 143, dan Pasal 145 yang mengakibatkan:
a.
luka berat atau membahayakan nyawa orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
b.
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
atau denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
(2)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 yang mengakibatkan:
a.
luka berat atau membahayakan nyawa orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp 14.000.000.000,00
(empat belas miliar rupiah).
b.
kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Pasal
147
Setiap
pejabat atau penyelenggara negara yang melakukan atau membantu tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 sampai Pasal 145, dikenai pidana dengan
pemberatan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana masing-masing.
Pasal
148
(1)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 sampai Pasal 145
dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan pidana denda terhadap
pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap perseorangan.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a.
pencabutan hak-hak tertentu; atau
b.
pengumuman putusan hakim.
BAB
XVI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
149
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, lembaga Pemerintah yang menangani bidang
Pangan yang sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang ini tetap menjalankan
tugasnya sampai dengan terbentuknya lembaga Pemerintah yang menangani bidang
Pangan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
BAB
XVII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
150
Peraturan
pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 3 (tiga)
tahun sejak UndangUndang ini diundangkan.
Pasal
151
Lembaga
Pemerintah yang menangani bidang Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129
harus telah terbentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal
152
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur Pangan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti atau
tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal
153
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal
154
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Disahkan
Di Jakarta,
Pada
Tanggal 16 November 2012
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR.
H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
Di Jakarta,
Pada
Tanggal 17 November 2012
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR
SYAMSUDIN
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 227
Tidak ada komentar:
Posting Komentar