BAB
I Pendahuluan
A. Latar
Belakang masalah
Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan
persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan
pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak
bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi
banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib
anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Mereka adalah amanah
tuhan yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang
menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.
Dalam UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”
bermakna pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan
pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak
terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia
pada umumnya. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana
layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pilihan
pemeliharaan, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, rekreasi dan
budaya, dan perlindungan khusus.
Penanganan anak jalanan di seluruh wilayah kota besar di
Indonesia belum mempunyai model dan pendekatan yang tepat dan efektif.
Keberadaan Rumah Singgah menurut hasil penelitian Badan Pelatihan dan
Pengembangan Sosial Depsos (2003), dinilai kurang efektif karena tidak
menyentuh akar persoalan, yaitu kemiskinan dalam keluarga “(Kompas, 26 Pebruari
2003). Pembinaan dan pemberdayaan pada lingkungan keluarga belum banyak
dilakukan, sehingga penanganannya selama ini cenderung tidak efektif. Keluarga
merupakan “pusat pendidikan, pembinaan dan pemberdayaan pertama” yang
memungkinkan anak-anak itu tumbuh dan berkembang dengan baik, sehat dan cerdas.
Pemberdayaan keluarga dari anak jalanan, terutama dari segi ekonomi, pendidikan
dan agamanya, diasumsikan merupakan basis utama dan model yang efektif untuk
penanganan dan pemberdayaan anak jalanan.
Data tersebut cukup memperihatinkan, karena idealnya sebagai “kota percontohan”
DKI dapat bebas dari masalah anak jalanan, atau setidaknya jumlah anak jalanan
tergolong rendah di seluruh propinsi di Indonesia. Selama ini, penanganan anak
jalanan melalui panti-panti asuhan dan rumah singgah dinilai tidak efektif. Hal
ini antara lain terlihat dari “pola asuh” yang cenderung konsumtif, tidak
produktif karena yang ditangani adalah anak-anak, sementara keluarga mereka
tidak diberdayakan.
B. Tujuan Penelitian
1. Agar dapat mengetahui masalah-masalah
yang dihadapi anak jalanan, dan cara-cara mengatasi banyaknya anak jalanan yang
ada di Indonesia.
2. Dapat mengetahui seberapa banyak anak
jalanan yang ada di Indonesia
C. Metode dan Teknik Penelitian
Metode
penelitian yang saya gunakan dengan mencari informasi sebanyak banyaknya
tentang anak jalanan yang ada di Indonesia, lalu saya simpulkan dalam satu
karya tulis ilmiah ini.
BAB II ISI
Anak jalanan adalah anak yang dianggap kurang
beruntung dan terlantar yang menanti upaya semua pihak agar dapat berkembang
secara wajar. Anak jalanan menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah
dan berkeliaran di jalanan dan ditempat-tempat umum lainnya.
1. Anak marginal yang hidup di jalanan
a. Putusnya hubungan atau lama tidak
bertemu dengan orang tuanya
b. Berada di jalan seharian dan
meluangkan 8-10 jam untuk bekerja dan selainnya menggelandang dan tidur
c. Bertempat tinggal di jalan dan tidur
di sembarang tempat seperti trotoar, jembatan, taman, terminal dan
stasiun
d. Pekerjaan ngamen, mengemis,
pemulung, yang hasilnya untuk diri sendiri .
2. Anak marginal yang bekerja di
jalanan (anak jalanan)
a. Berhubungan tidak teratur dengan
orang tuanya, seminggu sekali, sebulan dan tidak tentu
b. Berada di jalanan sekitar 8-12 jam
untuk bekerja, sebagian mencapai 16 jam
c. Bertempat tinggal secara mengontrak sendiri,
atau sama-sama dengan temannya
d. Tidak bersekolah lagi
e. Pekerjaan menjual koran, pengasong,
pencuci mobil, pemulung sampah dan menyemir sepatu
f. Rata-rata berumur 16 tahun
3. Anak yang rentang menjadi anak
jalanan ciri-cirinya :
a. Setiap hari bertemu dengan orang
tuanya
b. Berada di jalan sekitar 4-6 jam
untuk bekerja
c. Masih sekolah
d. Pekerjaan menjual Koran, alat tulis,
plastic, menyemir sepatu dan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
e. Rata-rata berumur dibawah 14 tahun
4. Anak jalanan berusia 16 tahun
cirri-cirinya :
a. Terdiri dari anak yang sudah putus
hubungan dengan orang tua
b. Berada di jalan dari 8-24 jam atau
kadang seharian di jalan
c. Mereka tamat SD atau SLTP namun
tidak sekolah lagi
d. Pekerjaan tidak tetap, seperti calo,
mencuci mobil, mengemis untuk kebutuhan dirinya dan orang tuanya
e. Rata-rata berumur diatas 16 tahun
Berdasarkan penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa anak jalanan yang hidup di luar rumah adalah bagian dari
komunitas atau kelompok masyarakat yang mempunyai masalah, yang banyak
menghabiskan waktunya di jalanan mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari.
B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Munculnya
Anak-anak Jalanan
Anak adalah sebagai generasi penerus
pewaris cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan potensi Sumber Daya Manusia
(SDM) yang berkualitas. Anak mempunyai hak dan kebutuhan hidup yang perlu
dipenuhi yaitu: Hak kebutuhan untuk makan dengan zat-zat yang bergizi,
kesehatan, bermain, kebutuhan emosional, pengembangan moral, spiritual,
pendidikan serta memerlukan lingkungan keluarga dan social yang mendukung
kelangsungan hidupnya.
Krisis ekonomi, adalah sebagai pemicu utama terjadinya
berbagai bencana yang telah menyebabkan banyak orang tua dan keluarga mengalami
penurunan daya beli, pemutusan hubungan kerja sehingga tidak bisa memenuhi
kebutuhan akan hak-hak anaknya. Berkaitan dengan itu jumlah anak putus sekolah,
terlantar dan marginal semakin bertambah, selain itu akibat yang
ditimbulkan terpaksa banyak anak-anak yang harus membantu orang tuanya, karena
kemiskinan.
Di sisi lain tidak sedikit anak yang hidup dan tumbuh
dalam lingkungan yang tidak kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, diakibatkan
karena situasi perkotaan yang begitu dinamis dan tidak memberi ruang bagi
masyarakat marginal, hal ini terlihat mudahnya terjadi pengusuran serta
terjadinya konflik yang tak dapat dielakkan. Konflik yang dapat dilihat seperti
perkelahian antar kelompok, dengan menggunakan senjata tajam bisa terjadi kapan
saja, dan tidak sedikit pula anak terlibat didalamnya. Pemerintah kota dengan
melakukan penggusuran atas nama keindahan dan ketertiban umum yang tidak pernah
selesai: menggusur paksa, penggrebekan, penggarukan, yang sudah barang tentu
membawa konsekwensi tertentu bagi kehidupan perkotaan.
Modernisasi, industrialisasi, migran dan urbanisasi
yang mengakibatkan terjadinya perubahan jumlah anggota keluarga dan gaya hidup
membuat dukungan social dan perlindungan terhadap anak menjadi berkurang.
Mereka pun memilih jalanan dan tempat–tempat umum
lainnya sebagai alternative pelarian untuk mencari kerja, karena mereka
menganggap dijalan banyak rezeki yang bisa didapat sesuai dengan tingkat
kompetisi yang ada, artinya mereka menyadari tingkat pendidikan yang pernah
mereka jalani. mereka hanya mengenyam pendidikan rata-rata SLTP kebawah putus
sekolah akhirnya menjadilah mereka anak pekerja. Faktor lain yang menyebabkan
anak-anak turun ke jalan dikarenakan adanya konflik yang terjadi pada rumah
tangganya, mereka bosan dengan keadaan yang terjadi di rumah. Peraturan serba
ketat tanpa memberi peluang kepada anak mengutarakan keinginannya, tidak jarang
sering terjadi tindak kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga sebagai
mana yang sering kita saksikan akhir-akhir ini, untuk itu sebagai alternatif
dalam mengurangi meningkatnya anak terlantar perlu pemberian modal usaha dan
penciptaan lapangan kerja dari pemerintah yang merupakan tugas pokok
dinas sosial sebagaimana yang diembangkan oleh pemerintah kota tentang
kesejahteraan anak dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar
baik jasmani, rohani maupun sosialnya. Karena mereka terlanjur hidup dan
mencari nafkah di jalanan dan ditempat-tempat umum lainnya maka mereka dikenal
dengan istilah anak jalanan.
C. Alternatif
Pemecahan Masalah
Alternatif model penangannan anak jalanan mengarah kepada 3 jenis model yaitu
family base, institutional base dan multi-system base.
Family base, adalah model dengan memberdayaan keluarga anak jalanan melalui
beberapa metode yaitu melalui pemberian modal usaha, memberikan tambahan
makanan, dan memberikan penyuluhan berupa penyuluhan tentang keberfungsian
keluarga. Dalam model ini diupayakan peran aktif keluarga dalam membina dan
menumbuh kembangkan anak jalanan.
Institutional base, adalah model pemberdayaan melalui pemberdayaan
lembaga-lembaga sosial di masyarakat dengan menjalin networking melalui
berbagai institusi baik lembaga pemerintahan maupun lembaga sosial masyarakat.
Multi-system base, adalah model pemberdayaan melalui jaringan sistem yang ada
mulai dari anak jalanan itu sendiri, keluarga anak jalanan, masyarakat, para
pemerhati anak ,akademisi, aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya.
BAB III Penutup
a.
Kesimpulan
Berdasarkan
dari hasil penelitian kami dapat disimpulkan sebagai berikut :
Secara umum profil anak jalanan di Indonesia berasal dari keluarga yang miskin.
Mereka menjadi anak jalanan disebabkan karena rendahnya kondisi sosial ekonomi
keluarga. Di samping itu, sebagian besar anak jalanan menggunakan uang hasil
usahanya untuk membantu ekonomi keluarga. Mereka jarang bertemu dengan orang
tuanya dan tidak betah di rumahnya. Mereka rata-rata menghabiskan waktunya di
jalan selama lebih dari 12 jam. Aktivitas paling menonjol yang dilakukan oleh
anak jalanan adalah berjualan seperti asongan dan menyemir sepatu sedangkan
lainnya lebih banyak yang berjualan dan mengamen di bis-bis kota.
Dilihat dari profil keluarga rata-rata jumlah anaknya 3-4 orang sangat
mendukung anaknya bekerja di jalan dan mendukung pula untuk anaknya bersekolah.
Keluarga mereka pernah mengikuti penyuluhan program Kelompok Usaha Bersama
(KUBE) tetapi tidak mengikuti program tersebut dengan alasan program tersebut
tidak mendukung perekonomian keluarga. Keluarga mereka tidak memiliki
pendapatan yang tetap dan tinggal di rumah sewa atau menempati tanah negara.
Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya anak jalanan antara lain (a) rendahnya
pendapatan keluarga, (b) keluarga disharmonis, (c) rendahnya pendidikan orang
tua, (d) keluarga urban yang tidak memperoleh sumber-sumber ekonomi di daerah
asalnya, (e) persepsi orang tua yang keliru tentang kedudukan anak dalam
keluarga.
Di samping itu rendahnya kontrol sosial terhadap permasalahan anak jalanan juga
menyebabkan permasalahan anak jalanan semakin menjamur, dan diperparah oleh
adanya eksploitasi anak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Peta permasalahan anak jalanan dapat dikatagorikan menjadi 6 (enam) yaitu (a)
desakan ekonomi keluarga, (b) rumah tinggal yang kumuh membuat anak tidak betah
di rumah (c) rendahnya pendidikan orang tua (d) tidak adanya payung kebijakan
penanganan anak jalanan, (e) lemahnya kontrol sosial dan (f) tidak berperannya
lembaga-lembaga sosial.
Berdasarkan profil dan peta masalah dapat dirumuskan tiga jenis alternatif
model penanganan anak jalanan yaitu: family based, institutional based dan
multi-system based.
b.
Saran
1.
Pembinaan
terhadap anak jalanan
a. Membentuk lembaga pendidikan keluarga
(informal)
Fungsinya
:
-
Menjamin
kehidupan emosional anak
-
Menanamkan
dasar pendidikan moral
-
Peletakan
dasar-dasar keagamaan
b. Membentuk lembaga pendidikan sekolan
(formal)
Fungsi dan Peranannya :
-
Spesialisasi
Diantara ciri meningkatnya kemajuan masyarakat ialah
makin bertambahnya diferensiasi dalam tugas kemasyarakatan dan lembaga sosial
yang melaksanakan tugas tersebut. Sekolah mempunyai fungsi sosial yang
spesialisasinya dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
-
Efisiensi.
Terdapat pada sekolah sebagai fungsi sosial yang
spesialisasi dibidang pendidikan dan pengajaran, maka pelaksanaan pendidikan
dan pengajaran dalam masyarakat menjadi efisien.
-
Sosialisasi
Sekolah mempunyai peranan yang sangat penting didalam
proses sosialisasi, yaitu membantu perkembangan individu menjadi makhluk
sosial, makhluk yang dapat beradaptasi dengan masyarakat. Sekolah juga
berfungsi memelihara warisan budaya yang hidup dalam masyarakat dengan jalan
menyampaikan warisan kebudayaan tadi (transmisi kultural) kepada generasi muda.
-
Tranmisi dari Rumah ke Masyarakat.
Ketika berada di keluarga, kehidupan anak serba
menggantungkan diri kepada orang tua, maka memasuki sekolah ia mendapat
kesempatan untuk melatih diri sendiri dan bertanggung jawab sebagai persiapan
sebelum ke masyarakat.
c. Lembaga pendidikan masyarakat (non
formal)
Dalam konteks pendidikan, masyarakat
merupakan lingkungan ketiga setelah keluarga dan sekolah. Pendidikan yang
dialami dalam masyarakat, telah dimulai ketika anak-anak untuk sementara waktu
telah lepas dari asuhan keluarga dan berada dalam lingkungan sekolah. Pada
hakekatnya pendidikan jalur sekolah terbagi dua, yakni pendidikan informal
keluarga, pendidikan nonformal (masyarakat) pendidikan ini biasa disebut
Lembaga Swadaya Masyarakt (LSM).
Pendekatan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berkembang diberbagai negara, suatu wahana
yang dipersiapkan untuk memperantarai anak marginal dengan pihak yang
akan membantu mereka.Tekanan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang lebih
penting adalah mempertahankan kemampuan anak dimana penggunaannya berdasarkan
aspirasi dan potensi yang dimiliki oleh anak.
Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan proses informasi yang memberikan suasana
rasionalisasi anak marginal terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku di
masyarakat.
LSM yang
menangani pembinaan anak marginal adalah tersosialisasinya ide atau gagasan
tentang perlunya minimalisasi atau antisipasi tindak kekerasan pada
anak-anak dalam rumah tangga (keluarga) untuk sebuah proyeksitas terwujudnya
generasi yang humanis dan anti kekerasan, tentang sosialisasi gagasan hak-hak
anak akhirnya aturan hukum secara formal akan menjadi instrument untuk memajukan
hal-hal di atas dalam dunia empiris.